
Judul : Meneropong Manusia Sulawesi, di Antara Pencarian Leluhur, Ramalan, Hingga Ancaman Ekologi
Penulis : Eko Rusdianto
Penerbit : Penerbit Akasia
Tahun terbit : Desember 2021
Tebal : x + 171 halaman
Readtimes.id– Kisah leluhur manusia Sulawesi sesungguhnya bisa ditelusuri pada gua-gua. Melalui pencarian arkeologis, selubung misteri seputar dari mana, kapan, dan bagaimana leluhur manusia Sulawesi ini menjalani hidup dapat pelan-pelan terkuak. Stalaktit dan stalakmit akan memberi informasi perubahan iklim purba, benda-benda seperti tembikar dan sebagainya memberitahu kita bagaimana leluhur menggunakan teknologi, dan lukisan-lukisan tangan di panel dindingnya menantang imajinasi ilmiah kita untuk menyelami alam batin leluhur kita.
Poin-poin di atas menjadi substansi tulisan-tulisan Eko Rusdianto dalam buku barunya, “Meneropong Manusia Sulawesi, di Antara Pencarian leluhur, Ramalan, Hingga Ancaman Ekologi”. Setidaknya dari hasil pembacaan saya. Lewat 16 reportase sastrawi khas Eko, seluruhnya membawa kita pada perenungan untuk memaknai kembali identitas kebangsaan kita serta relasi lingkungan alam dengan keberlanjutan kehidupan manusia.
“Lalu, siapa orang Indonesia itu. Apakah kamu meyakini dirimu berdarah murni Indonesia? coba buatlah garis silsilahmu, tuliskan di kertas, nama bapak dan mamakmu, kakek dan nenekmu, hingga buyutmu. Masih ingat? Lalu tulis lagi siapa bapak dan mamak buyutmu, lalu kakek dan nenek buyutmu, lalu buyutnya buyutmu. Mulai ribet bukan?”
Begitulah senarai pertanyaan penulis dalam tulisan pembukanya, “Adonan Genetik dalam Ungkapan Pribumi”. Berangkat dari pertanyaan ini nampaknya Eko menyediakan kita basis untuk menyelami informasi detail dalam 15 tulisan-tulisannya berikutnya.
Hanya memang kita perlu memberikan fokus yang lebih dalam membaca buku ini. Pasalnya, penjelasan sains dan arkeologis mendominasi isi buku, sehingga kita perlu bersiap mencatat dan memahami definisi teori yang ada di dalamnya. Tapi tenang, menurut saya, karena dikemas dalam gaya jurnalisme naratif atau sastrawi, Eko cukup berhasil membuat penjelasan-penjelasan arkeologis menjadi mudah dipahami. Apalagi ditambah kenyataan, Eko sendiri memiliki latar akademik arkeologi—sempat dilakoni sebentar, sehingga penjelasannya memiliki kedalaman.
Buku “Meneropong Manusia Sulawesi” ini cocok buat mereka pembaca buku bertema sains dan perjalanan serta petualangan. Di tengah penelusuran gua yang dijabani sang penulis, ada dialog hangat penulis bersama arkeolog. Dari sanalah penjelasan tentang sejarah sains pembentukan bumi hingga jutaan tahun dihamparkan.
Simak saja percakapan-percakapan intim tersebut dalam gua-gua di sepanjang Maros dan Pangkep, atau di pedalaman Bonto Cani, kita akan mendapatkan pengetahuan mengenai pembabakan periode prasejarah kebudayaan di Sulawesi Selatan yang disebut Toala, melihat perubahan lanskap lingkungan pasca kunjungan Alfred Russel Wallace, dan mendiskusikan siapa sih leluhur manusia Sulawesi ini—orang Toala atau Austronesia?
Membaca buku ini akan memberikan pengetahuan berharga buat pembaca di Sulawesi Selatan untuk memahami masa lalunya, khususnya masa prasejarah. Kita mungkin akrab dengan istilah Homo Sapiens dan penamaan lain yang serupa. Nah, dalam bukunya ini, Eko membumikan penjelasannya sehingga lebih mudah dipahami.
Satu-satunya kekurangan buku ini adalah salah ketik yang lolos dari mata penyunting yang masih sering kita jumpai dalam hampir semua halaman. Mungkin tidak begitu substansial, tapi cukup mengganggu.
*****
Eko Rusdianto lahir di Sulawesi Selatan dan berkarir sebagai jurnalis pada 2009. Reportase panjang dan sastrawi yang ditulisnya menghiasi portal-portal berita seperti Historia, Mongabay Indonesia, Tirto.id, dan lain-lain. Tahun 2022 ini ia mendapat penghargaan Oktavianus Pogau untuk keberania dalam jurnalisme dari Yayasan Pantai. Ini merupakan jaminan tulisan-tulisan Eko di dalam buku ini bernas baik secara isi maupun narasi.
Buku ini adalah buku ketiga Eko Rusdianto yang ditulisnya sendiri—tulisan-tulisannya yang lain juga ikut dalam buku bunga rampai dengan berbagai tema. Sebelumnya, pada tahun 2020, ia menerbitkan dua buku: “Titik Krisis di Sulawesi, Narasi Jurnalistik atas Kehancuran Ruang dan Sumber Daya Alam” pada Februari Penerbit Baca Makassar), dan “Tragedi di Halaman Belakang, Kisah Orang-Orang Biasa dalam Sejarah Kekerasan Sulawesi” pada Oktober.
Ketiga buku yang saya sebutkan di atas telah saya baca dengan khusyuk. Dari ketiga buku itu saya bisa merangkum perhatian, minat, dan simpati Eko pada nasib masyarakat kecil berhadapan dengan modal yang menggusur lahan penghidupan mereka, bagaimana sejarah yang kerap kali memberi cermin penyingkiran dan penindasan orang-orang biasa, serta bagaimana sesungguhnya perjalanan leluhur manusia itu.
Pada “Titik Krisis di Sulawesi…”, Eko membawa kita pada masa kini pasca reformasi 1998, di mana gerakan rakyat di beberapa titik di Sulawesi mulai mengemuka dan berhadap-hadapan langsung dengan kaki tangan penguasa—sesuatu pemandangan yang sukar kita bayangkan untuk dilakukan pada masa Orde Baru yang militeristik. Pada “Tragedi di Halaman Belakang…” berisi memoar, kesaksian sejarah, serta kisah miris lainnya yang menempatkan rakyat biasa Sulawesi sebagai korban. Sementara buku terbaru yang jadi bahan ulasan di sini, “Meneropong Manusia Sulawesi…”, mengajak kita secara intelektual mengenali, menjejaki, dan memahami leluhur orang Sulawesi lewat penelusuran berbagai gua yang ada di Sulawesi.
Dan seluruh latar cerita dalam buku-bukunya berlangsung serta memijak pada bumi Sulawesi tempat Eko Rusdianto lahir dan menjalani kehidupannya hingga saat ini. Hal itu memberi kesan betapa Eko tidak terasing dari lingkungan dan masyarakatnya, namun tetap berupaya kritis sekaligus memberi sikap dan nilai pada subyek tulisannya. Eko memberi kritik, namun sekaligus memberi visi.
Eko Rusdianto adalah penulis yang sunguh-sungguh berdedikasi. Salut!
Editor : Ramdha Mawaddha
Tambahkan Komentar