RT - readtimes.id

Balada Pemberantasan Korupsi Era Jokowi

Readtimes.id– “Jangan apa-apa ditarik ke Presiden. Ini adalah sopan santun ketatanegaraan. Saya harus hormati proses hukum yang berjalan”. 

Petikan kalimat di atas adalah  potongan penyampaian Presiden Jokowi ketika merespon polemik Tes Wawasan Kebangsaan (TWK)  Komisi Pemberantasan Korupsi yang berujung pada pemberhentian 56 pegawai yang sesuai jadwal akan segera diberlakukan  pada 30 September mendatang. 

Saat itu Presiden menyampaikannya dalam pertemuan dengan sejumlah pemimpin redaksi media di Istana Kepresidenan, Rabu (15/9). 

Sebuah respon dari seorang kepala negara  yang akhirnya memupuskan harapan Novel Baswedan dan kawan-kawan yang sebelumnya mereka sampaikan pada saat menggelar aksi di luar kantor Dewan Pengawas (Dewas) KPK, usai pengumuman pemberhentian tersebut disampaikan oleh Ketua KPK Alexander Marwata melalui sebuah konferensi pers. 

Menurutnya, waktu itu dengan adanya penemuan maladministrasi dalam proses TWK oleh Ombudsman RI dan Komnas HAM, seharusnya KPK menunggu tanggapan Presiden terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk menerbitkan surat pemberhentian. 

Namun bak panggang jauh dari api, hingga digelarnya pertemuan di Istana bersama para sejumlah pemimpin media di Tanah Air, mantan Wali Kota Solo itu enggan menggunakan kekuasaannya untuk membalikkan keadaan. 

Enggannya sikap Jokowi ini dinilai nampak memperlihatkan adanya agenda panjang terkait memberikan perlindungan bagi mereka yang tengah berkuasa dan terancam kasus korupsi, seperti yang diterangkan oleh peneliti Anti Corruption Committee (ACC) Angga Reksa pada readtimes.id. 

“Dengan melemahnya KPK tentu para pejabat atau politisi yang melakukan korupsi akan semakin leluasa dalam praktiknya karena tidak perlu merasa was-was akan diawasi oleh sosok -sosok pegawai KPK yang selama ini terkenal kritis dalam pemberantasan kasus-kasus korupsi besar di Tanah Air, ” terangnya. 

Selain itu, sikap Jokowi yang lepas tangan terkait pembebasan tugas 56 pegawai KPK juga  berpotensi menjadi awal dari kesulitan pemerintah dapat membenahi indeks persepsi korupsi (CPI) Indonesia ke depan yang menurut Transparency International saat ini mengalami penurunan. 

Seperti yang diketahui, Indonesia sekarang masuk dalam barisan negara yang skornya berada di bawah 50 yakni 37. Bahkan lebih rendah dibanding negara-negara tetangga yang terakhir mendapatkan skor di atas 50 seperti Singapura (skor 85)  dan Brunei Darussalam dengan skor 60. 

Dengan skor tersebut kini Indonesia menempati peringkat 102 dari 180 negara.  Ini juga sebuah  penurunan prestasi karena sebelumnya Indonesia menempati peringkat 85 pada  2019 lalu.

Data yang pada awal tahun lalu langsung mendapatkan respon dari  Menko Polhukam Mahfud MD sebagai bentuk masukan sekaligus rekomendasi untuk terus memperbaiki kebijakan penangan korupsi di Tanah Air dengan melibatkan seluruh pihak.

“Pengawas yang sifatnya fungsional maupun internal. Ya kita akan perkuat pengawasan itu,” kata Mahfud.

Kendati demikian, nampaknnya pernyataan tersebut bukan persoalan yang mudah untuk terwujud ketika pemberantasan pemberantas korupsi justru mendapatkan jalan yang lapang. Di tambah lagi dengan sejumlah kasus korupsi terakhir yang justru mendapatkan vonis hukuman yang mencederai rasa keadilan publik

Pada  pertengahan Juni 2021 misalnya, majelis hakim Pengadilan Tinggi  DKI Jakarta mengabulkan permohonan banding Pinangki Sirna Malasari, seorang jaksa yang tersandung kasus suap. Dengan alasan seorang perempuan juga seorang ibu dari buah hatinya yang masih balita yang masih membutuhkan perhatian. Majelis hakim memangkas hukuman Pinangki dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara. 

Selanjutnya pada 21 Juli 2021, majelis hakim Pengadilan Tinggi  DKI Jakarta juga mengabulkan permohonan banding, terkait kasus Djoko Soegiarto Tjandra terkait kasus suap pengecekan status red notice, penghapusan namanya dari Daftar Pencarian Orang (DPO), dan pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA). Hukuman Djoko menjadi 3,5 tahun penjara dari semula 4,5 tahun penjara. 

Masih pada bulan yang sama publik juga dikejutkan vonis hukuman mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo terkait penetapan izin ekspor benih lobster (benur). Edhy divonis 5 tahun penjara dan denda sebesar Rp400 juta subsider enam bulan kurungan. Sebelumnya, politikus Gerindra itu dalam pledoinya meminta pengurangan hukuman dengan alasan masih mempunyai tanggungan istri dan tiga orang anak. 

Dan yang terbaru adalah vonis terhadap mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara yang hanya  dihukum 12 tahun penjara, setelah  terbukti menerima suap Rp32,48 miliar dalam kasus penyelewengan bantuan sosial (bansos) Covid-19. Adapun pertimbangan hakim meringankan hukumannya adalah bendahara PDI Perjuangan tersebut mendapat caci maki dari publik lantaran perbuatannya tersebut. 

Di tengah menurunnya kepercayaan publik pada kemampuan pemerintah memberantas persoalan korupsi berkaca dari rentetan persoalan di atas, kendati demikian tidak semestinya kemudian membuat publik berhenti dalam mengawal proses setiap kasus korupsi yang terjadi di Tanah Air, dimana menurut Angga Reksa, saat ini masih menjadi isu kalangan menengah ke atas, akademisi, pegiat anti korupsi, dan juga lembaga swadaya masyarakat yang mempunyai konsentrasi dalam isu tersebut. 

“Yang bisa kita lakukan sekarang tetap kampanye dan mengedukasi publik bahwa dampak  tindak pidana korupsi itu sesungguhnya sangat besar bagi seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali” pungkasnya.

Ona Mariani

3 Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: