Readtimes.id– “Bonus demografi ibarat pedang bemata dua. Satu sisi adalah berkah, jika kita berhasil mengambil manfaatnya. Satu sisi lain adalah bencana apabila kualitas manusia Indonesia tidak disiapkan dengan baik,” — Jokowi
Petikan kalimat di atas adalah potongan pidato Jokowi ketika peringatan Hari Keluarga Nasional, di Lapangan Sunburst, Kota Tangerang Selatan, Banten Agustus 2015 silam.
Dalam sambutannya Jokowi menyampaika bahwa tahun 2020-2030 Indonesia didominasi penduduk usia produktif. Sedangkan jumlah penduduk pada usia di bawah 15 tahun dan di atas 65 tahun hanya sekitar 30 persen.
Kini masa itu telah tiba, Indonesia telah memasuki the window of oputurnity, meminjam istilah seorang pakar studi pembangunan, Sonny Hari B Harmady, untuk menyebut sebuah kesempatan singkat yang harus dimanfaatkan cepat dan tepat.
Kendati demikian nampaknya hingga hari ini Indonesia belum menikmati bonus demografi yang ada, di mana jumlah penduduk usia produktif atau angkatan kerja belum mampu memenuhi standar kualitas dunia kerja.
Misalnya dalam sektor pertambangan, tenaga kerja Indonesia belum cukup diperhitungkan dalam awal pembangunan smelter di beberapa daerah di Tanah Air yang kaya sumber daya tambang. Pun setelah smelter tersebut beroperasi untuk menduduki posisi starategis.
Hal ini masih dipercayakan pada tenaga kerja asing (TKA) yang dinilai lebih mumpuni dan memiliki produktivitas tinggi yang dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangan perusahaan.
Rendahnya kualitas dan kompetensi tenaga kerja Indonesia tidak lain disebabkan oleh kualitas pendidikan yang belum memenuhi keinginan pasar kerja, terang pengamat manajemen sumber daya manusia Institut Teknologi dan Bisnis Kalla, Andi Tenri Pada kepada readtimes.id
“Kurikulum kampus kita belum terbuka untuk menghadirkan pengajaran-pengajaran yang sifatnya teknis yang sebenarnya lebih banyak dibutuhkan oleh perusahaan,” terangnya saat ditemui langsung.
Hal ini yang lantas membuat para peserta didik tidak sepenuhnya siap bahkan kaget ketika mereka terjun di dunia kerja, utamanya pascakampus yang hampir secara keseluruhan mempertanyakan skill yang dimiliki peserta didik.
Dalam keterangannya, alumni Ekonomi Unhas ini setuju akan perlunya pendidikan vokasi yang dibangun di daerah tertentu guna mendukung penyerapan tenaga kerja, tak terkecuali dalam sektor pertambangan.
“Menurut saya terlepas dari itu misalnya program CSR dari perusahaan itu bagus, artinya mereka tidak hanya berpikir tentang eksploitasi SDA tapi juga memikirkan bagaimana pemberdayaan SDM di sana,” tambahnya.
Lebih dari itu, pendidikan dengan kualifikasi tertentu ini pada dasarnya dapat mendukung penyerapan tenaga kerja secara maksimal.
Demikian hal tersebut dapat mendukung produktivitas masyarakat yang dapat menunjang produktivitas nasional dan menjadi motor pertumbuhan ekonomi seperti yang terjadi di sejumlah negara maju.
Hal ini perlu dilakukan jika Indonesia ingin mewujudkan mimpinya menjadi negara dengan ekonomi terbesar ketujuh di dunia sepuluh tahun akan datang, seperti yang kemudian diprediksi lembaga riset ekonomi dan bisnis Mckinsey Global Institute (MGI) pada 2012. Selain mengharuskan ekonomi tumbuh rata-rata 7 persen per tahun, juga menuntut produktivitas tenaga kerja mencapai rata-rata 4,6 persen.
Kendati demikian, angka-angka tersebut tidak akan terwujud dengan sendirinya jika tidak ada political will dari pemerintah. Terutama pemerintah daerah melalui jalan otonomi daerah untuk mendukung dan mempercepat pemerataan pendidikan yang dapat menunjang produktivitas para tenaga kerja di Tanah Air.
Tambahkan Komentar