RT - readtimes.id

CineClinic, dan Seni Membaca Film

Doc. Kosmik Unhas

Readtimes.id– Departemen Ilmu Komunikasi bersama Korps Mahasiswa Ilmu Komunikasi (Kosmik) Unhas menyelenggarakan Ceneclinic, kuliah umum yang mengangkat budaya dan sinematografi.

Dilaksanakan secara luring di Aula Prof. Syukur Abdullah FISIP Unhas dan daring pada zoom selama 2 hari (16-17/10) kegiatan dihadiri oleh mahasiswa, dosen dan Sinematografer, Nur Hidayat Monodzky sebagai pemateri.

Bang Monod, sapaan akrabnya, menceritakan bagaimana sebuah film berangkat dari budaya dan hal-hal sederhana di sekitar kita. Ia mengatakan dunia film tak mesti berangkat dari sebuah karya sastra.

Bang Monod kemudian momencontohkan film bertajuk “Long Dark” yang berangkat dari sebuah game, atau film “Music Box” yang mengangkat cerita tentang keluarga.

Selain itu, ia pun menyampaikan bahwa budaya dapat diikutsertakan pada sinema dibuktikan pada lukisan karya manusia purba di goa Leang Leang di Kabupaten Maros Sulawesi Selatan pada 40 ribu tahun sebelum masehi yang diklaim sebagai budaya sinema terutua.

“Lukisan di goa Leang Leang apa bedanya dengan cerita-cerita yang kita sampaikan saat ini melalui media sosial dan media lainnya,” ungkapnya saat menyampaikan materi Budaya dan Sinematografi, Minggu (17/10).

Menghadirkan budaya dalam bentuk visual kemudian sangat bergantung dari tafsir dari pembuatan film itu sendiri. Ia kemudian menggambarkan hal tersebut melalui karya Beethoven Symphony No.9 yang disajikan dengan pendekatan fiksi dan dokumenter akan memberi kesan berbeda pada penonton.

“Beethoven Symphony ke-9 ini ketika disajikan secara fiksi terasa lebih dramatis akan beda feelnya ketika disajikan dalam bentuk dokumenter di jalan perkotaan penonton bisa menikmati musik dengan perasaan lebih senang,” ungkapnya.

Sebagai karya seni, film kadang kala menawarkan sesuatu untuk diterjemahkan sendiri. Bagaimana penonton melihat gambar yang ada dari perspektif mereka masing-masing sehingga sebuah film kurang elok ketika dibuat terlalu jelas, karena seni yang terlalu jelas akan bersifat klise.

Ia pun menerangkan sebuah seni membuat kita mampu menerobos daerah-daerah yang sudah baku karena seni yang terlalu sama akan membosankan.

“Film sebagai seni itu kita ditawarkan untuk menjelajah dunia baru. Makanya film disajikan dengan beberapa hal yang tidak terlalu jelas untuk kita artikan sendiri,” jelasnya.

Sebagai bentuk penggabungan seni dan budaya pada sebuah sinema, Bang Monod pada akhir kegiatan menyatakan ada potensi pada seni dan budaya di sulawesi selatan yaitu pada Epos La Galigo, mitologi masyarakat Bugis, Sulawesi Selatan.

La Galigo menurutnya dapat memberikan tawaran yang lebih luas dari sekadar cerita fiksi dan non fiksi. Adanya benturan antara mitologi bissu, seni tari, seni rupa dan sebagainya, ia berpendapat La Galigo cukup seksi untuk diangkat dalam sebuah karya sinema, bahkan dapat melebihi kisah Mahabarata.

I Luh Devi Sania

41 Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: