Readtimes.id– Sebagai barometer moral publik, idealnya kampus menjadi tempat yang aman bagi para penghuninya untuk berpikir, menyampaikan pendapat juga terhindar dari tindakan-tindakan yang melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) lainnya seperti kekerasan seksual.
Kendati demikian, fakta di lapangan tidak menunjukkan hal yang demikian itu. Sejumlah kasus kekerasan seksual masih kerap dijumpai di lingkungan kampus. Pelakunya pun beragam, dari mahasiswa hingga dosen.
Pada tahun 2017 misalnya , kasus kekerasan seksual menimpa mahasiswi Universitas Gadjah Mada bernama Agni (bukan nama sebenarnya) dimana dilakukan oleh rekannya satu kampus. Sementara itu kasus serupa juga dialami oleh mahasiswi UI yang diperkosa oleh dosennya sendiri yaitu Sitok Srengenge yang juga terkenal sebagai seorang budayawan.
Selain itu di Sulawesi Selatan pada awal tahun 2021, kekerasan juga dilaporkan terjadi pada mahasiswi pascasarjana Universitas Hasanuddin (Unhas) berinisial (D) yang dilakukan oleh teman dekatnya, seorang mahasiswa pascasarjana Unhas yang juga aktif pada salah satu organisasi masyarakat sipil di Sulsel. Begitu pula dengan kasus yang baru-baru ini terjadi di Universitas Negeri Makassar (UNM) seorang mahasiswi bernama Nura (bukan nama sebenarnya) mengaku dilecehkan senior kampusnya saat bermalam di sekretariat lembaganya.
Ini adalah sederet kasus yang terungkap di permukaan karena korban berani angkat bicara meskipun membutuhkan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Namun dibalik itu semua masih banyak kasus serupa yang sejatinya belum terungkap karena korban enggan melaporkan pelaku.
Dari laporan data hasil survei 2019 yang dilakukan oleh Tirto.id, Vice Indonesia, dan The Jakarta Post saja, dari 79 kampus yang tersebar di 29 provinsi di Indonesia, ada sekitar 96 persen mahasiswi perempuan yang menjadi korban, 20 persen tak melapor, dan 50 persennya lagi tidak menceritakan kepada siapapun
Takut, sulitnya menunjukkan alat bukti, tidak adanya dukungan dari lingkungan, adanya pandangan demi menjaga “nama baik” institusi atau lembaga adalah sekian dari banyak faktor yang membuat korban kekerasan enggan bersuara seperti yang dijelaskan oleh Koordinator Umum Komite Anti Kekerasan Seksual Unhas, Siti Khafidzah Mufti kepada readtimes.id.
Menurutnya, hal ini bisa terjadi karena kampus belum memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam menangani kasus kekerasan atau pelecehan seksual sehingga membuat korban tidak percaya diri mengungkapkan apa yang ia alami.
“Karena belum ada SOP di kampus jadi kebanyakan korban takut dan tidak percaya pada lingkungannya untuk cerita. Belum lagi pada kebanyakan kasus, sering terjadi victim blaming atau menyalahkan korban,” terang perempuan yang akrab disapa Icha ini.
Hal ini biasanya terjadi ketika pelakunya adalah sosok yang memiliki pengaruh di kampus, misalnya dosen, pejabat akademik, atau petinggi lembaga, di mana membuat jalan advokasi menjadi sedikit sulit. Mengingat selain ketiadaan SOP, isu perempuan, gender, ataupun kekerasan seksual belum menjadi isu yang sensitif di kampus, sehingga memandang kasus serupa adalah urusan pribadi antara pelaku dan korban.
Hal senada diungkapkan Danika Nurkalista, Koordinator Layanan Psikologis di Yayasan Pulih dalam wawancaranya pada media, yang mengatakan bahwa banyak faktor lain yang membuat korban kekerasan seksual enggan angkat suara. Selain karena adanya hambatan dari sendiri seperti trauma, posisi tawar yang tidak setara dengan pelaku, pengetahuan yang minim mengenai kekerasan seksual dan hukum adalah faktor lainnya yang membuat kasus kekerasan atau pelecehan seksual sulit untuk diungkap.
Belajar dari UI dan UGM
Sejauh ini setidaknya ada dua kampus yakni UI dan UGM yang belajar dari sederet kasus pelecehan seksual yang terjadi di lingkup kampus dan akhirnya membentuk sebuah SOP dalam pencegahan serta penanganan terhadap kasus kekerasan atau pelecehan seksual.
Di UI ada Ligwina Inge Nurtjahyo (Fakultas Hukum) dan Saraswati Putri (Fakultas Ilmu Budaya), dua dosen yang secara resmi menerbitkan ‘Buku Saku SOP Kasus Kekerasan Seksual’ untuk lingkungan kampus yang telah diterbitkan sejak akhir November 2019 lalu untuk kemudian dibagikan secara gratis untuk para civitas akademika.
Buku saku ini merangkum rumusan kekerasan seksual, di mana tidak terbatas pada pemerkosaan saja, yang selama ini belum banyak dipahami oleh civitas akademika. Ini penting mengingat salah satu faktor yang membuat korban tidak melapor terkadang karena tidak tahu bahwa yang dialaminya itu adalah sebuah bentuk pelecehan atau kekerasan seksual.
Selain itu aspek penting lain yang ada di dalam ‘Buku Saku’ tersebut adalah adanya suatu gugus kerja sebagai wadah terpadu untuk mendampingi dan memproses pengaduan korban kekerasan seksual dalam bentuk “crisis center “. Di sini kerahasiaan status korban dijamin untuk menghindari terjadinya victim blaming.
Sementara itu di UGM ada Sri Wiyanti Eddyono, seorang dosen hukum gender yang menjadi tokoh penting di balik draf peraturan kekerasan seksual yang diterbitkan kampusnya. Tidak jauh berbeda dengan gagasan crisis center di UI, Sri juga mempunya opsi lain sebagai alternatif yakni adanya klinik kesehatan di setiap fakultas sebagai tempat korban untuk menyampaikan apa yang mereka alami. Hal ini dinilai efektif karena sejalan dengan konsep ‘health-promoting university’ (kampus sadar kesehatan) yang dimiliki oleh UGM.
Apa yang dilakukan oleh UI atau pun UGM ini sejatinya dapat diadopsi lebih cepat oleh seluruh kampus di Tanah Air, jika saja dari atas pemerintah mendukung dengan adanya payung hukum yang kuat terkait penanganan kasus kekerasan seksual yang berpihak pada korban, seperti undang-undang tentang kekerasan seksual misalnya.
Baca Juga : RUU PKS, Harapan yang Tiada Kunjung Sampai
Dengan adanya undang-undang yang demikian ini, baik Kementrian terkait seperti Kemendikbud Ristek maupun Universitas setidaknya dapat memiliki sebuah acuan yang jelas terkait kebijakan yang akan dirumuskan ke depan menyangkut penanganan kasus kekerasan seksual di kampus. Selain suara mahasiswa dan akademisi yang juga tidak kalah penting untuk terus mengawal segala regulasi yang ada.
1 Komentar