Readtimes.id– “Kita ini ingin membangun sebuah demokrasi gotong royong. Jadi perlu saya sampaikan bahwa di Indonesia ini tidak ada yang namanya oposisi seperti di negara lain. Demokrasi kita ini adalah demokrasi gotong royong,”
Berikut adalah pernyataan Presiden Jokowi pada 24 Oktober 2019 di Istana Kepresidenan. Kala itu perhatian publik tengah terpusat pada partai Gerindra, yang akhirnya memutuskan untuk bergabung ke dalam Kabinet Indonesia Maju.
Sebagai kepala negara di sebuah negara yang menganut sistem presidensial, Jokowi nampak mempunyai pandangan sendiri terkait demokrasi. Demokrasi gotong royong ala Jokowi adalah bagaimana duduk bersama dan menyelesaikan persoalan kebangsaan, tanpa menghendaki adanya oposisi seperti yang kemudian berusaha diterangkan oleh Mikhael Dua pakar filsafat dan etika Universitas Atma Jaya pada readtimes.id
Maka tidak heran ketika sejumlah parpol oposisi bergabung dalam koalisi akan tetap disambut dengan ramah terbuka setidaknya hingga hari ini.
Baca Juga : Beda Gaya Koalisi SBY dan Jokowi
Cara pandang sosok Kepala Negara yang pada tahun 1960-an sempat dikhawatirkan oleh Mohammad Hatta sebagai sesuatu yang pada praktiknya justru menjauhkan Indonesia dari demokrasi itu sendiri.
Saat itu melalui karyanya yang berjudul ” Demokrasi Kita ” yang dimuat pertama kali oleh Majalah Panji Masyarakat di bawah asuhan Buya Hamka, Hatta mengkritisi “demokrasi terpimpin” ala Soekarno yang saat itu dilakukan untuk menghadapi sejumlah pemberontakan oleh masyarakat karena ketidakpuasan pada kinerja pemerintah dan kabinetnya.
Terlalu ” ultra demokratis ” kata Hatta mempersoalkan tindakan Soekarno membubarkan dewan konstituante yang dipilih oleh rakyat karena dinilai tidak mampu menyelesaikan perumusan undang -undang secara tepat waktu, dan menggantinya dengan DPR Gotong Royong yang orang-orangnya dipilih secara langsung oleh Soekarno.
“Pemerintah yang dibentuk dengan cara yang ganjil itu diterima begitu saja oleh Parlemen dengan tiada mengatakan keberatan yang prinsipil. Malahan ada yang membela tindakan Presiden itu dengan dalil keadaan darurat, ” tulis Hatta.
Lebih jauh DPR Gotong Royong bentukan Soekarno akhirnya dipandang Hatta tidak lebih dari sekedar memberikan landasan hukum pada keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh Soekarno.
Hal yang prakteknya juga nampak berlangsung dalam tubuh pemerintahan hari ini, ketika perlahan namun pasti segala keputusan Jokowi juga disetujui oleh mayoritas fraksi di parlemen.
Undang -undang Cipta Kerja, undang-undang Mineral dan Batubara ( Minerba), pembatalan revisi undang-undang pemilu, pemindahan Ibu Kota Negara, adalah sejumlah contoh usulan keputusan pemerintah yang telah disetujui mayoritas fraksi di DPR.
Baca Juga : Suka-Suka Jokowi
Bedanya dengan era Soekarno, para anggota DPR hari ini dipilih melalui cara yang demokratis, yakni melalui pemilihan umum dan bukan dengan penunjukkan langsung oleh Jokowi.
Kendati demikian, menurut Mikhael Dua baik Soekarno maupun Jokowi memiliki alasan yang cukup berdasar untuk menerapkan gaya kepemimpinan yang demikian di tengah kondisi negara yang sedang tidak baik-baik saja.
Era Soekarno saat itu masyarakat dinilai belum mampu merumuskan undang-undang sebagai dasar negara Indonesia berdiri, sehingga perlu sosok pemimpin yang bisa mengarahkan.
Sementara era Jokowi hal itu tidak bisa dihindari terlebih ketika negara tengah darurat akibat pandemi, dimana membutuhkan akselerasi kebijakan yang tidak perlu terlalu banyak kritik dari oposisi untuk segera menyelamatkan negara.
Pertanyaannya kemudian, pantaskah mengesampingkan demokrasi atas nama kedaruratan ?
Menurut Mikhael Dua itu yang kemudian harus menjadi perhatian para pemimpin di situasi darurat atau krisis untuk terhindar dari sistem yang totaliter seperti yang telah terjadi di negara-negara Eropa.
” Meskipun secara kuantitas kecil, pemerintah harus tetap memberikan ruang untuk oposisi menyampaikan kritik maupun saran, untuk mengambil tindakan-tindakan yang sekiranya luput dari pemerintah dalam mengatasi krisis negara, ” tambahnya
Oleh karenanya menurut Mikael perlu oposisi yang berkualitas meskipun secara kuantitas mungkin kurang. Dan hal ini hanya bisa dilakukan ketika partai politik benar-benar menjalankan fungsinya sebagai tempat mengakomodasi seluruh kepentingan masyarakat ditambah dengan suara media juga masyarakat akar rumput.
Editor : Ramdha Mawadda
1 Komentar