Readtimes.id– Kendati memiliki hak imunitas, bukan berarti seorang anggota DPR dapat sesuka hati bersikap dan mengeluarkan pendapat kontroversial yang berpotensi membuat publik gaduh.
Patut diketahui hak imunitas ini membuat anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya, baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR maupun di luar rapat.
Anggota DPR RI fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Arteria Dahlan, belum lama tersorot karena pernyataannya di rapat kerja komisi III DPR pada 17 Januari yang menyinggung masyarakat Sunda.
Saat itu Arteria meminta Jaksa Agung ST Burhanuddin mencopot seorang Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) yang berbicara menggunakan bahasa Sunda dalam rapat. Menurut Arteria, seorang Kajati harus menggunakan Bahasa Indonesia agar orang yang mendengar tidak salah persepsi.
“Ada kritik sedikit pak JA ( Jaksa Agung), ada Kajati, pak, dalam rapat, dalam raker (rapat kerja) itu ngomong pakai bahasa Sunda. Ganti, itu, Pak, Itu, ” pinta Arteria seperti yang dikutip dari laman Antara.
Hal ini menuai kritik dari masyarakat Sunda yang berujung aksi demonstrasi yang menuntut agar Arteria dicopot, karena dianggap telah melakukan ujaran kebencian. Tidak hanya itu, bahkan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil pun meminta agar Arteria meminta maaf pada masyarakat Sunda.
Insiden ini menambah panjang kontroversi yang dilakukan Arteria Dahlan. Sebelumnya pada November 2021 Arteria juga pernah mengusulkan agar penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim tidak ditangkap melalui operasi tangkap tangan (OTT). Karena menurutnya mereka adalah penegak hukum yang harus dijaga marwahnya. Alhasil usulan itu membuat Arteria mendapat banyak kritik, yang bahkan juga datang dari Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni.
Selain itu pada 2019 ia juga pernah menyebut ekonom Emil Salim sesat ketika keduanya berdebat dalam acara talk show di salah satu stasiun televisi. Saat itu Arteria menunjuk-nunjuk Emil Salim ketika mantan menteri era Soeharto itu menyampaikan argumen bahwa KPK menyampaikan laporan pertanggungjawaban setiap tahun.
Saat itu Arteria berdalih tindakannya itu karena menyampaikan hal benar. Bahkan ia juga sangat menyayangkan acara tersebut mendatangkan Emil Salim.
Mundur ke belakang, tepatnya pada 2018 Arteria Dahlan juga pernah melontarkan umpatan kasar pada Kementerian Agama terkait kasus First Travel. Saat itu Arteria mengaku kesal lantaran satu pejabat Kemenag menyalahkan calon jemaah umrah yang gagal berangkat.
Namun, karena menuai kritikan, ia pun meminta maaf karena atas pernyataannya telah membuat Kemenag tersinggung.
Selanjutnya pada 2017 Arteria juga pernah melayangkan protes kepada KPK karena tidak dipanggil “Yang Terhormat” dalam rapat kerja komisi III DPR . Ia menuturkan pimpinan KPK seharusnya memanggil anggota DPR dengan sebutan ” Yang Terhormat” seperti yang dilakukan Kapolri dan Presiden Jokowi dalam setiap rapat bersama DPR.
Ketua Program Studi Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam sebuah kolom yang bertajuk “Arteria Dahlan dan Komunikasi Publik Pejabat” memandang bahwa apa yang menimpa Arteria memperlihatkan betapa tidak sedikit dari pejabat-pejabat di Indonesia yang gagal berkomunikasi dengan benar.
“Agaknya, mereka kurang begitu menguasai keterampilan berkomunikasi. Mereka tidak berhasil, bukan sekadar bagaimana menyampaikan pesannya kepada publik atau khalayak, tetapi juga mempertimbangkan bagaimana dampak dari pesannya tersebut,” tulisnya.
Kendati pada akhirnya Arteria meminta maaf atas pernyataan kontroversialnya, namun dampak buruk yang kadung diakibatkannya, belum tentu hilang begitu saja.
Mengutip Deddy Mulyana dalam bukunya Ilmu Komunikasi Sebuah Pengantar (2019), dampak komunikasi itu bersifat irreversible. Artinya, dampak komunikasi itu tidak dapat atau sulit ditarik kembali.
Baca Juga : Menyoal Komunikasi Juru Bicara Di Masa Krisis
Adapun terkait hak imunitas DPR seperti yang tertuang dalam undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), tidak selayaknya dapat dijadikan dalih untuk mentolerir sikap maupun pernyataan anggota DPR yang tidak patut dalam berinteraksi dengan publik.
Karena seperti yang diketahui dampak panjang dari hal ini bukan tidak hanya dapat menurunkan kepercayaan publik pada pejabat publik namun juga berdampak pada rendahnya kepatuhan publik pada kebijakan-kebijakan yang dibuat.
Baca Juga : Krisis Kepercayaan Rakyat di Tengah Pandemi
Editor : Ramdha Mawadda
1 Komentar