Readtimes.id– Krisis akibat pandemi Covid-19 belum berlalu. Namun Jokowi harus bersiap menghadapi krisis berikutnya, yakni krisis kepercayaan dari rakyat Indonesia.
Belum cukup satu pekan, lembaga survei yang didirikan Denny JA merilis hasil survei tentang kepercayaan publik atas kinerja Presiden di tengah pandemi.
Hasilnya hanya 43 persen masyarakat yang percaya pada kemampuan mantan Wali Kota Solo itu. Sementara 22, 6 persennya lagi, tidak percaya sama sekali.
“Untuk pertama kalinya selama masa pandemi Covid-19 ini di bulan Juni, tingkat kepercayaan pada Presiden di bawah 50 persen. Ini penting untuk memahami bagaimana kelancaran dari program dan penanganan wabah seperti PPKM darurat,” terang Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan dalam rilis survei secara daring, Minggu, 18 Juli 2021.
Patut diketahui, dari data riwayat hasil survei LSI dalam beberapa bulan terakhir memang tidak pernah memberikan kabar gembira bagi Jokowi .
Tercatat setidaknya empat bulan terakhir (Februari-Juni) 2021, tingkat kepercayaan publik terhadap Jokowi menurun 13,5 persen, dari angka 56,5 persen ke 43 persen.
Angka ini bahkan semakin jauh jika dibandingkan tahun lalu, di mana pada bulan September dan November 2020, Presiden masih dipercaya oleh sekitar 60 persen masyarakat Indonesia.
Menanggapi hasil survei tersebut, Kamhar Lakumani selaku Deputi Bappilu DPP Partai Demokrat, menilai hal itu terjadi karena Jokowi gagal fokus. Karena pendekatan yang digunakan dalam mengentas pandemi masih menitikberatkan pada sisi ekonomi saja.
Terlalu “economic minded” kata mantan ketua biro departemen kesra DPP Partai berlambang bintang mercy itu merespon sejumlah pertanyaan awak media.
Hal itu tak lain dipandangnya dari penempatan Luhut Binsar Panjaitan, Menko Marves dan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto sebagai garda terdepan penanggulangan Covid- 19, dimana tidak menjadikan kesehatan sebagai pendekatan kebijakan yang diciptakan.
Bahkan penunjukannya semakin menimbulkan polemik ketika para menteri ini juga tidak konsisten dalam memberikan informasi bagi publik menyoal kasus Covid- 19.
Luhut Binsar Panjaitan misalnya, belum lama ini menuai kritik dari publik akibat ketidak konsisten mengeluarkan pernyataan terkait penanganan Covid-19. Pada 12 Juli sempat mengatakan terkendali, namun tak cukup sepekan menyebutkan bahwa penanganan Covid-19 khususnya varian delta tidak bisa dikendalikan, hingga akhirnya perpanjangan masa PPKM menjadi pilihan.
Pemberlakuan PPKM yang kini telah mencapai level 4 itu, dalam perjalanannya juga tak luput dari kritikan publik. Alasannya karena banyak penyesuaian dan sosialisasi yang berulang di mana menyisakan tanda tanya terkait kematangan perencanaan pemberlakuan kebijakan pembatasan darurat.
Hal ini dapat dilihat dari awal pemberlakuan PPKM darurat wilayah Jawa-Bali yang teknisnya mengacu pada Instruksi Mendagri (Inmendagri) No 15 Tahun 2021. Namun belum genap 24 jam diberlakukan, pada hari yang sama Inmendagri No 16 Tahun 2021 terbit untuk merevisi sejumlah aturan yang tercantum pada Diktum sanksi. Menyusul kemudian Inmendagri No 17 terkait optimalisasi posko di tingkat desa dan kelurahan. Dan hingga yang terakhir ada Inmendagri No 20.
Alhasil, terbitnya rentetan Inmendagri ini membuat implementasi PPKM di lapangan tidak optimal, utamanya terkait penegakan disiplin. Tercatat telah terjadi kericuhan dan perdebatan di berbagai daerah saat aparat keamanan berupaya mendisiplinkan kegiatan masyarakat.
Bahan Evaluasi
Alarm krisis kepercayaan yang datang dari publik menjelma melalui angka-angka yang terbit di data lembaga survei. Seyogianya perlu dipandang sebagai bahan evaluasi kerja pemerintah dari masyarakat, seperti yang kemudian diungkapkan oleh pakar Kebijakan Publik Universitas Negeri Makassar Haedar Akib kepada readtimes.id.
Ini penting mengingat melalui evaluasi, pemerintah dapat melakukan perbaikan kebijakan, yang dapat digunakan untuk meraih kembali kepercayaan publik dalam situasi krisis.
Krisis kepercayaan tidak bisa dipandang sebelah mata, mengingat jika tidak dikelola dengan baik justru akan menghambat kelancaran kebijakan pengentasan pandemi di Tanah Air. Karena, secara tidak langsung akan sangat berpengaruh pada tingkat kemauan publik untuk mematuhi setiap aturan yang dibuat pemerintah.
“Sebagai Kepala Pemerintah, Presiden harus lebih luwes alias fleksibel dalam merespon setiap kritik yang datang dari publik, utamanya dalam situasi krisis yang jelas membutuhkan penanganan yang berbeda,” terangnya.
Hal ini mengingat dalam situasi seperti sekarang, masyarakat mempunyai beban yang tidak biasa, sehingga respon dari tuntutan itu membutuhkan sesuatu yang luar biasa pula.
Dan untuk sampai ke situ ada dua hal yang mesti diperbaiki oleh Jokowi yaitu gaya komunikasi dan aksi di lapangan.
“Penyampaian atau sosialisasi kebijakan publik terkait penanganan covid harus transparan dan konsisten dengan menempatkan orang-orang yang berkapabilitas dalam bidangnya untuk berkomunikasi dengan publik agar tidak menimbulkan beragam tafsir,” tambahnya.
Ini penting karena akan berdampak pada aksi atau implementasi kebijakan di lapangan, mengingat cangkupan wilayah Indonesia yang cukup luas.
Lebih dari itu sudah saatnya pula pemerintah dan masyarakat menyadari bahwa dalam menghadapi badai Covid-19, sejatinya Indonesia membutuhkan aksi-aksi kolektif yang sifatnya saling menguatkan. Mengingat dampak pandemi ini tidak hanya menyerang ketahanan individu saja, melainkan juga ketahanan bangsa serta negara.
Editor : Ramdha Mawaddha
4 Komentar