Readtimes.id– “Dalam psikologi Tri Rismaharini adalah seorang pemimpin dengan tipe kepribadian koleris. Seseorang dengan tipe kepribadian ini cenderung berorientasi pada pemenuhan tugas dan akan menjadi pengawas yang aktif demi tercapainya sebuah target tugas yang telah ditentukan,” terang pakar psikologi politik, Universitas Negeri Makassar, Muhammad Rhesa, pada readtimes.id
Hal ini menyoal Menteri Sosial Tri Rismaharini yang belakangan kembali mencuri perhatian publik tatkala sebuah video yang merekam aksinya memarahi salah satu pendamping Program Keluarga Harapan (PKH) di Gorontalo tersebar luas.
Mengutip beberapa sumber, koleris sendiri adalah salah satu tipe kepribadian yang pemiliknya memiliki beberapa ciri-ciri, diantaranya berkemauan keras, tegas, menyukai tantangan dan perfeksionis.
Berbagai ciri-ciri yang akan membuat pemiliknya marah dan cenderung emosional ketika ada sebuah pekerjaan atau tugas yang tidak tuntas. Hal yang digambarkan oleh Rhesa seperti yang terjadi pada Risma.
“Karena ada ambisi yang besar itu tadi, sehingga kalau tidak terpenuhi akan sangat emosional,” tambahnya.
Seperti yang diketahui selama menjadi menteri, ini bukanlah kali pertama mantan Wali Kota Surabaya itu marah di depan umum. Sebelumnya Juli lalu ia juga memarahi ASN Kemensos yang menurutnya tidak turut andil dalam kegiatan di dapur umum yang diselenggarakan di balai Wiyata Guna dalam rangka membantu para warga dan petugas selama PPKM darurat.
Hal berulang yang terekam oleh media hingga membuat Risma dilabeli sebagai sosok pemimpin yang cenderung emosional dalam menyikapi sebuah persoalan.
Kendati demikian, menurut Dosen Universitas Negeri Makassar tersebut, pribadi koleris juga dibutuhkan oleh seorang pemimpin dalam memastikan pelaksanaan kebijakan. Namun penting kemudian untuk seorang berkepribadian koleris memahami konteks tempat dan waktu untuk tidak menimbulkan kesalahpahaman publik, terlebih jika mereka adalah pejabat publik.
Hal tersebut yang kemudian ke depan perlu dipahami oleh Risma yang kini menjabat Menteri Sosial yang tidak berinteraksi dengan satu wilayah atau dengan masyarakat yang sama seperti saat ia memimpin Surabaya.
“Warga Surabaya dulu mendukung Risma ketika marah karena mereka memahami konteks permasalahan mengapa kemudian Risma marah. Namun akan berbeda hal ketika misalnya seperti video terakhir yang merekam Risma marah, mereka yang reaksioner adalah mereka yang bisa jadi tidak memahami konteks mengapa Risma marah,” tambahnya.
Hal yang cenderung membuat publik justru kecewa dan berpotensi mengganggu berjalannya sebuah kebijakan.
Lebih jauh menurutnya mengamati respon publik terakhir juga Gubernur Gorontalo yang cukup reaksioner dalam menanggapi sikap Risma, nampak berhasil membuat Risma merenungi sikapnya dan tidak menutup kemungkinan untuk tidak mengulanginya kembali.
Tambahkan Komentar