Judul : Taman Tanpa Aturan
Penulis : Noor H. Dee
Penerbit : marjin kiri
Tahun : 2023
Tebal : vi + 62 halaman
Kerap kali dunia anak-anak hanya dianggap sebagai fase lugu nan menggemaskan, yang harus segera ditanggalkan dan ditinggalkan. Jika ada orang dewasa yang dianggap masih berperilaku bak anak-anak, cemoohan akan diarahkan kepadanya. Dunia anak-anak semata dinilai sebagai dunia bermain, dan semesta orang dewasa dipandang sebagai tujuan utama. Benarkah demikian?
“Taman Tanpa Aturan” adalah buku cerita yang membongkar cara pandang keliru seperti itu. Melalui kisah-kisah sederhana namun memikat, Noor H. Dee si penulis buku menyentil orang-orang dewasa yang kekurangan imajinasi, melihat dunia permainan sebagai kekanak-kanakan, dan mengajak orang-orang berefleksi: dunia yang penuh konflik perang, kerusakan lingkungan, dan sebagainya yang diciptakan orang dewasa itu karena kita alpa merawat semangat anak-anak di dalam diri kita.
Begitulah, 24 cerita di dalam buku ini membawa kita menengok kembali nilai-nilai sejati dari jiwa anak-anak kita untuk menciptakan dunia yang lebih baik. Dengan cerita rata-rata tiga halaman saja—malah ada yang setengah halaman saja—disertai ilustrasi minimalis yang mempermanis tampilan teks dan memperkuat gagasan cerita, Noor H. Dee seakan hendak menyadarkan kita bahwa imajinasi dunia anak bukanlah gagasan naif untuk dilestarikan untuk kehidupan kita dewasa ini.
Tengok saja cerita “Taman Tanpa Aturan” yang jadi judul sampul buku ini. Orang dewasa yang selalu menganggap anak-anak harus diatur dengan ketat, sebab jika tidak mereka dapat saja berubah menjadi monster, akan dibuat terkejut dengan eksperimen salah satu tokoh cerita yang mencoba membuat Taman Tanpa Aturan. Di taman yang hanya ada tanah dan rumput itu, anak-anak bebas bermain apa saja, orang tua dilarang masuk. Setelah berbulan-bulan, apakah anak-anak benar-benar menjadi monster? Ternyata tidak!
Hal lain yang nampak jika kita baca secara khidmat, ide-ide cerita di dalam buku ini lahir dari pertanyaan-pertanyaan sepele yang barangkali banyak dari kita pernah memikirkannya. Misalnya, dalam “Rambut Jeruk Alma”, ide cerita berangkat dari rasa penasaran: jika kita menelan biji jeruk saat makan jeruk, apakah pohon jeruk akan tumbuh di dalam diri kita? Dan penulisnya ‘memanjakan’ imajinasi kita dengan membiarkan jeruk tumbuh di dalam tubuh anak-anak kecil, dan mereka bisa memetik buah dari rambut mereka.
Hal-hal sepele lainnya bisa kita temukan juga dalam cerita “Seekor Ikan kecil yang Melompat ke Daratan”: apa yang akan terjadi jika seekor ikan melompat ke daratan dan hidup sebagaimana manusia—berusaha mencari kerja untuk dapat bertahan hidup? Lagi-lagi jika dibaca dari sudut pandang orang dewasa, cerita ini bisa mengajak kita merenungkan definisi dan makna uang kaitannya dengan kebahagiaan manusia.
Di dalam “Drompil”, kita akan disadarkan betapa untuk mengembangkan kreatifitas kadang kita harus berani mengabaikan norma umum. Tersebutlah si Doni yang mengklaim telah menciptakan satu kata yakni ‘drompil’. Tapi oleh Ayahnya ditanyakan apa arti kata itu. “Apakah setiap kata harus ada artinya?” singkat cerita, dia mulai menggunakan kata “drompil” untuk mengekspresikan perasaan tertentu. Contohnya, “Wow, kekuatan barunya sangat drompil.” Dan tak lama kemudian ahli bahasa memasukkan kata ‘drompil’ menjadi kosakata baru dalam kamus.
Kisah “Tuan Tanah” akan mengusik nalar kritis kita terhadap dampak keserakahan dengan aspek kehidupan kita yang lain, lingkungan misalnya. Tersebutlah seorang Tuan Tanah yang serakah, yang ingin membeli dan memiliki semua tanah yang ada di dunia. Dia tidak ingin ada pihak lain selain dirinya sendiri yang menghuni tanah itu, kecuali mereka membayar kepadanya. Walhasil, orang-orang, hewan-hewan, tanaman-tanaman, semua pergi dari tempat itu. Ketika dia merasa beruntung, berkatalah tanah di bawah kakinya, “Beruntung apanya?…Apa artinya diriku jika tak ada yang tumbuh dan tinggal bersamaku? Aku hanya akan berakhir menjadi kuburan bagimu.”
Sindiran lainnya ada dalam “Sepasang Telinga yang Mencoba Kabur”. Di dalam cerita iniada kritik kepada orang dewasa yang tidak lagi saling mendengarkan. Kisah dua halaman yang didominasi dialog ini secara jenaka dan imajinatif membayangkan sepasang telinga manusia melepaskan diri dan kabur. “Tidak ada yang tahu ke mana sepasang telinga itu pergi. Kita, sebagai pembaca, hanya tahu mereka pergi ke sebuah tempat di mana telinga masih sangat dibutuhkan, tempat di mana orang-orang masih saling ingin mendengarkan.”
Kisah hangat yang mengingatkan kita bahwa menjadi manusia itu penuh kekurangan dan kita harus menerimanya, bisa kita jumpai dalam cerita “Kakek Pelupa”. Kisah ini mengajak kita memahami bahwa ‘lupa’ dalam konteks tertentu itu justru bagus dan perlu. Cerita ini juga sebetulnya hendak menyindir kita yang mulai asing satu sama lain, yang jarang lagi saling menyapa dengan hangat satu sama lain setiap waktu. “Sebagian besar manusia selalu menderita karena ingatan. Aku tak ingin menderita. Lagipula, lupa artinya memaafkan, dan memaafkan adalah pintu bagi masuknya kebahagiaan.”
Itulah sekilas beberapa kandungan cerita di dalam buku ini. Sisanya tak kalah menarik pula, dengan narasi yang kadang membuat kita tertawa, tersenyum, terharu, dan merenung. Segala macam percampuran perasaan bisa kita dapatkan di dalam buku ini.
Cerita-cerita di dalam buku akan membawa kita kembali ke prinsip dasar kemanusiaan dan kebebasan. Dan itu semua tersedia dalam kepala anak kecil. Orang dewasa kerap kali membuat aturan yang malah bertentangan dengan prinsip dasar aturan itu sendiri: membuat kita berbahagia dan hidup lebih baik.
Tambahkan Komentar