Readtimes.id– Pemerintah Indonesia saat ini harusnya harap-harap cemas melihat laporan penurunan angka stunting Tanah Air yang yang masih jauh dari harapan.
Dari target 14 persen untuk 2024 secara nasional, Indonesia kini masih di angka 21,6 persen. Padahal, ini sudah awal tahun 2023. Artinya, masih ada 7,6 persen yang harus dikebut.
Letak geografis, tingkat pendidikan, hingga pendataan dinilai masih menjadi persoalan utama yang menghambat penurunan angka stunting.
Guru Besar Besar Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin, Prof. Veni Hadju mengatakan, daerah-daerah di Indonesia memiliki kesulitan akses yang berbeda-beda, bahkan ada yang masih terpencil sehingga membuat sosialisasi stunting terhambat.
Hal ini semakin sulit ketika jumlah tenaga gizi di masing-masing pusat kesehatan masyarakat di daerah juga terbatas.
“Tenaga gizi kita di puskesmas itu sedikit. Bayangkan jumlahnya hanya 1 atau 2 orang, tapi harus melayani posyandu yang jumlahnya bisa mencapai 30 di daerah. Jelas overload,” terangnya pada readtimes.id Selasa, (24/1).
Selanjutnya adalah tingkat pendidikan masyarakat yang rendah. Hal ini berpengaruh pada pemahaman akan pentingnya pencegah dan penanganan stunting di Tanah Air yang juga rendah.
Untuk itu komitmen pemerintah daerah diperlukan untuk mengentaskan persoalan-persoalan tersebut.
“Setiap pemimpin di daerah perlu mempunyai komitmen yang kuat untuk mengentaskan persoalan ini. Koordinasi tidak boleh berhenti di level pusat saja tapi juga daerah,” tambahnya.
Menurut Veni, kunci menurunkan angka stunting di Indonesia adalah pemerataan akses untuk semua daerah. Dan untuk mencapai itu sudah seharusnya para pemimpin memiliki inovasi atau terobosan baru, karena tanpa itu semua target 14 persen hanyalah sebuah mimpi semata.
Selanjutnya adalah persoalan pendataan stunting. Tidak sedikit daerah yang mengklaim telah berhasil menurunkan angka stunting berdasarkan data dari aplikasi e-PPGBM (elektronik-Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat), tetapi berdasarkan data dari hasil Survei Gizi Indonesia (SSGI) tidak demikian.
Menurut Veni para pemangku kebijakan perlu pandai memaknai perbedaan hasil dari dua pengukuran tersebut. Karena jika tidak, tentu ini akan sangat berpengaruh pada keberhasilan perumusan dan pelaksanaan program di lapangan.
“Pada dasarnya dua pengukuran ini bagus digunakan. Tapi untuk akurasinya saya lebih menganjurkan untuk mengikuti survei nasional SSGI yang jelas dilakukan oleh enumerator-enumerator yang berlatar belakang pendidikan gizi. Berbeda dengan e-PPGBM yang bisa dilakukan oleh siapapun tanpa harus punya pendidikan gizi,” terang Veni.
Kendati demikian menurutnya e-PPGBM tetap bisa digunakan untuk deteksi dini. Namun sekali lagi harus tetap diimbangi dengan data SSGI.
Pada dasarnya pemerintah daerah tidak boleh terlena hanya karena e-PPGBM menunjukkan angka stunting yang rendah tanpa kemudian melahirkan inovasi-inovasi baru untuk mendorong penurunan angka stunting.
Sudah saatnya semua pihak perlu membuka mata, stunting bukan hanya permasalahan kesehatan atau gizi semata. Melainkan juga cerminan perekonomian kita dan masa depan generasi kita.
Baca Juga : Peliknya Masalah Stunting, dari SDM hingga PDB
69 Komentar