Readtimes.id– Dilema hukuman mati di Indonesia belakangan kembali mencuat setelah pelaku pemerkosaan 13 santriwati Herry Wirawan divonis mati oleh Pengadilan Tinggi (PT) Bandung pada 4 April. Efek jera sekali lagi mendasari pemberian vonis tersebut.
Hal ini menuai respon yang beragam dari sejumlah pihak. Diantaranya adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM ) yang menganggap hukuman mati tak akan memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana.
“Kalau kita lihat kajian-kajian terkait dengan penerapan hukuman mati, tidak ditemukan korelasi antara penerapan hukuman mati dengan efek jera atau pengurangan tindak pidana,” kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik dalam keterangan video, Selasa (5/4).
Hal ini menurutnya berlaku untuk semua kasus seperti tindak pidana kekerasan seksual, tindak pidana terorisme, narkoba, dan tindak pidana yang lainnya.
Selain itu menurutnya, hakim perlu mempertimbangkan vonis hukuman mati karena di sejumlah negara hal tersebut telah dihapuskan secara bertahap.
Senada dengan hal tersebut Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dalam keterangan persnya mengungkap bahwa hukuman mati akan menjadi preseden buruk bagi proses pencarian keadilan korban kekerasan seksual.
Hal ini tidak lain karena fokus proses pencarian keadilan korban kekerasan seksual justru diberikan kepada pelaku ketimbang korban yang dalam hal ini harusnya mendapatkan bantuan dalam proses pemulihan.
Patut diketahui, penolakan terhadap hukuman mati ini bukan kali pertama dilakukan oleh ICJR. Sebelumnya lembaga tersebut juga pernah menolak pidana mati untuk pelaku korupsi dana Bansos yang menjerat bekas Menteri Sosial Juliari Batubara.
Mengutip laman resmi ICJR pada 6 Desember 2020, narasi hukuman mati untuk terpidana korupsi dinilai merupakan narasi populis seolah-olah negara telah bekerja efektif dalam menanggulangi kejahatan, termasuk korupsi.
“Padahal faktanya tidak ada satupun permasalahan kejahatan yang dapat diselesaikan dengan menjatuhkan pidana mati,” tulis laman tersebut.
Menurut ICJR hal tersebut dapat dilihat pada data data Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tahun 2019 dimana menunjukkan negara yang menduduki peringkat puncak atas keberhasilannya menekan angka korupsi seperti Singapura di kawasan Asia Tenggara nyatanya tidak menerapkan hukum pidana mati. Begitu pula dengan Denmark, Selandia Baru, dan Finlandia.
Baca Juga : Setengah Hati Sanksi Hukuman Mati Pelaku Korupsi
Sebaliknya negara-negara yang masih menerapkan pidana mati termasuk untuk kasus korupsi malah memiliki nilai IPK yang rendah dan berada di ranking bawah termasuk Indonesia (peringkat 85), China (peringkat 80), dan Iran (peringkat 146) dalam laporan tersebut.
Dalam perkembangannya, berdasarkan catatan Amnesty Internasional, sampai tahun 2022 tercatat 111 negara telah menentang penerapan hukuman mati. Negara yang masih mempertahankan hukuman mati jumlahnya lebih sedikit yaitu 84 negara.
Masih Perlu Diterapkan?
Pakar hukum pidana Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Rahman Syamsuddin mengatakan bahwa penghapusan hukuman mati di beberapa negara sejatinya tidak terlepas dari keputusan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang telah mengeluarkan resolusi tidak mengikat tentang penghapusan hukuman mati.
Adapun dalam Perjanjian Internasional Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) tidak mengharamkan penerapan hukuman mati, namun memberikan serangkaian persyaratan ketat untuk negara yang meratifikasi perjanjian tersebut.
“Syaratnya yaitu kejahatan paling serius, peradilan bersifat adil, perlindungan hak atas identitas, asas retroaktif, terpidana bukan di bawah umur, terpidana bukan gangguan jiwa, terpidana bukan perempuan,” terangnya secara tertulis pada readtimes.id pada Rabu (6 /4).
Menurutnya dalam hal ini tindak pidana korupsi dipandang menimbulkan efek yang berat terhadap kondisi keuangan negara sehingga dikategorikan kejahatan paling serius. Namun kekerasan seksual tidak diterapkan hukuman mati karena ada perlindungan hak identitas dalam hal ini terkait dengan hubungan seksualitas.
Adapun terkait praktiknya di Indonesia, menurut Rahman hukuman mati masih perlu diterapkan di Indonesia karena pidana penjara di Tanah Air belum efektif selain kemudian proses hukum di Indonesia tidak berjalan dengan baik.
“Ditambah lagi persoalan Lapas yang over kapasitas dan pelaku tindak pidana sering mengulangi perbuatannya setelah dipenjara (residivis) juga menjadi pertimbangan lain mengapa Indonesia masih perlu menerapkan hukuman mati ,” tambahnya.
Lebih jauh Rahman juga berpandangan bahwa seringkali penolakan hukuman mati hanya didasarkan pada sisi kemanusiaan terhadap pelaku, tanpa melihat sisi kemanusiaan dari korban sendiri, keluarga, kerabat ataupun masyarakat yang tergantung pada korban.
Editor : Ramdha Mawaddha
1 Komentar