RT - readtimes.id

Dilema Profesi Advokat dalam Pengungkapan Perkara Korupsi

Readtimes.id– Dalam pengungkapan perkara korupsi, tidak jarang profesi advokat menjadi sesuatu yang kerap dipersoalkan. Perannya dalam memastikan kepentingan hukum dan hak-hak seorang tersangka atau terdakwa korupsi yang menjadi kliennya kerap dipandang sebagai sikap tidak pro pemberantasan korupsi. 

Adapun hal yang kerap ditudingkan atas kerja – kerja advokat ini adalah upaya mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan persidangan kasus tindak pidana korupsi atau biasa yang disebut sebagai obstruction of justice.

Nama  Didit Wijayanto Wijaya  yang belakangan mencuat karena didakwa merintangi penyidikan korupsi di LPEI misalnya. Patut diketahui Didit bukanlah advokat  pertama, sebelumnya  publik juga digegerkan dengan  Friedrich Yunadi eks pengacara Setya Novanto dalam kasus korupsi e-KTP yang juga tersandung kasus serupa.

Mereka dinilai telah melanggar UU Pasal 21 atau Pasal 22 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Dua pasal  yang menurut Wakil Ketua Umum DPN Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Shalih Mangara Sitompul, harus diuji di Mahkamah Konstitusi (MK). 

“Pasal 21 dan 22 UU Tipikor harus diuji di MK,” terangnya secara tertulis pada readtimes.id, Kamis (27/01).

Hal ini senada dengan  apa yang pernah dituntut  oleh sejumlah advokat  merespon kasus yang menimpa Friedrich pada 2018 silam ke MK.  Bahkan perkara uji UU Tipikor ini  terbagi menjadi dua permohonan di MK, yakni Perkara Nomor 7/PUU-XVI/2018 yang dimohonkan Khaeruddin serta Barisan Advokat Bersatu (Baradatu),  serta Victor Santoso Tandiasa  yang merupakan pemohon Nomor 8/PUU-XVI/2018.

Adapun bunyi pasal  UU Tipikor yang dimaksud adalah “Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau 33 denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”.

Menurut Khaerudin, saat itu pasal di atas  tidak memiliki tolok ukur dan multitafsir sehingga  menimbulkan tidak adanya pemaknaan yang jelas bagi seorang advokat yang melakukan pembelaan kepada kliennya, terutama ketika proses penyidikan sedang berjalan. 

Berpegang Teguh pada Kode Etik 

Dihubungi secara terpisah, pakar hukum pidana Universitas Islam Alauddin Makassar Rahman Syamsuddin memandang bahwa advokat merupakan bentuk profesi yang terhormat atau yang kerap disebut sebagai officium nobile. Yakni sebagai pemberi jasa yang sangat mulia dalam hukum sebagaimana yang diatur dalam undang-undang.

Dalam undang-undang advokat nomor 18 tahun 2003 menurut Rahman, advokat mempunyai kedudukan yang setara dengan penegak hukum lainnya seperti polisi maupun jaksa.

Oleh karena itu, dalam melaksanakan tugasnya advokat juga memiliki kode etik profesi. Dalam UU no 18 tahun 2003 pula advokat dituntut untuk berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan juga mempunyai suatu integritas yang tinggi.

“Pada prinsipnya advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku termasuk UU Korupsi, ” terangnya secara tertulis pada Jumat (28/01).

Kendati demikian untuk terhindar dari praktek obstruction of justice, advokat tidak cukup dengan mematuhi kode etik profesi saja melainkan juga melibatkan peran serta masyarakat. Menurut Rahman, penting kiranya agar masyarakat yang tersandung kasus hukum juga  jujur dalam menyampaikan masalah hukumnya, agar para advokat ini dapat mengambil tindakan-tindakan terukur yang tidak menyalahi aturan perundangan-undangan.

Karena bukankah sudah saatnya para advokat ini ” maju tak gentar bela yang benar” dan  bukan lagi  “maju tak gentar bela yang bayar”

Baca Juga : Penghapusan Justice Collaborator dan Titik Nadir Pemberantasan Korupsi

Editor : Ramdha Mawadda

Ona Mariani

Tambahkan Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: