Judul : Bothcan, Si anak Bengal
Penulis : Natsume Soseki
Penerjemah : Jonjon Johana
Penerbit : Kansha books
Tahun terbit : cetakan pertama, 1 Juli 2012
Tebal : 233 halaman
Menjadi guru nampaknya masih menjadi idaman banyak orang, meskipun sebagian (besar) cerita tentang nasib nahas yang dialaminya membanjiri berita-berita di media massa. Berbagai tantangan yang mesti dihadapi kaum guru: mulai dari status yang digantung, gaji yang tak seberapa, kompetensi yang dipertanyakan, hingga menyangkut kejujuran.
Belum pula sehari-hari guru menghadapi kenyataan di sekolah seperti murid dengan beragam karakter (yang baik sampai yang nakal), orang tua murid yang bisa saja datang protes atas suatu masalah, bahkan konflik di antara sesama guru itu sendiri.
Beberapa masalah di atas dialami oleh sosok guru jujur bernama Botchan dalam novel ringkas pengarang Jepang, Natsumi Soseki, berjudul, “Botchan Si Anak Bengal”. Dengan membaca kisah Botchan kita bisa berefleksi tentang nasib guru di tanah air kita sendiri, Indonesia. Khususnya guru yang mengajar di pedalaman, yang jarang tersentuh berita, sehingga kita tak tahu apa sesungguhnya yang mereka hadapi di sana.
Botchan adalah laki-laki muda bengal yang menjadi guru SMA di pedalaman bernama Shikoku. Masa lalu Botchan tidak pernah lepas dari masalah, hingga ia menjadi guru di umur awal 20an pun masalah itu tetap datang. Ia terlalu jujur dan blak-blakan. Ini novel yang akan membuat kita geram dan haru pada saat yang bersamaan.
“Karena kesembronoan yang kuwarisi dari orangtuaku, sejak kecil aku selalu mengalami kesialan,” begitu novel ini dibuka. Lalu berlembar-lembar dalam bab pertama digambarkan bagaimana si tokoh yang sekaligus jadi narator novel ini bertingkah. Kita akan menemukan betapa memang si Botchan ini bengalnya luar biasa: terjun dari lantai dua sekolahnya, mengiris jarinya dengan pisau, bermian sumo di kebun wortel dan merusak tanaman wortel, bertengkar setiap hari dengan kakaknya, dan sejumlah kelakukan yang sangat menyebalkan.
Ia dimusuhi banyak orang. keluarganya pun menganggapnya tidak berguna. “Ayah sama sekali tidak menyayangiku. Sedangkan Ibu hanya mementingkan kakakku. Kakakku ini betul-betul putih, dan suka bergaya seperti orang yang berperan dalam sandiwara. Dan dia suka sekali memerankan peran wanita,” begitu pengakuan si Botchan.
Akan tetapi, ada satu orang yang tulus menyayangi dia: Kiyo, perempuan tua yang menjadi pembantu di rumahnya. Nanti si perempuan ini akan selalu berkomunikasi via surat dengan Botchan di sepanjang novel. Hanya Kiyo yang memahami Botchan, selalu memotivasi dan menghibur Botchan.
Maka, bisa kita prediksikan, ketika orangtuanya meninggal dunia, ia tidak banyak mendapatkan warisan. Kakaknya lantas menjual rumah warisan, dan si Botchan mendapatkan warisan 600 yen. Karena tak tahu akan ia apakan uang itu (sementara berpikir membuka bisnis, Botchan merasa tidak punya bakat), ia pun sekolah lagi selama tiga tahun.
Nah, selepas sekolah, ia mendapatkan tawaran mengajar di sekolah pedalaman dengan gaji 40 yen perbulan. Didesak oleh uangnya yang tinggal sedikit, ditambah pula belum berpikir tentang pekerjaan, ia ambillah tawaran itu. Di sinilah ‘petualangan’ si Botchan dimulai.
Tak pernah ia bayangkan menjadi guru itu akan seperti apa. Rupanya tak mudah menjadi guru seperti yang ia bayangkan sekilas. Botchan berhadapan dengan sistem sekolah yang saling jegal, intrik sesama guru, murid yang nakal, dan…gaji yang tidak seberapa. Belum pula ia berhadapan dengan karakter orang pedalaman Shikoku yang kurang jujur, berbeda dengan tipe orang Tokyo tempat si Botchan berasal.
Di sinilah Botchan merasa menderita, tapi dia hadapi dengan penuh keberanian. Dengan khas bengalnya yang luar biasa bikin geram, ia hadapi semua tantangan itu dengan jujur apa adanya, kadang nampak naïf dan mudah dimanfaatkan. Ia asing dan tak terbiasa dengan permainan intrik yang ia anggap prilaku palsu dan munafik.
Botchan memberi nama aneh tapi unik untuk setiap guru sesuai karakter yang ia pahami. Misalnya, ada guru yang ia sebut Si Landak, Si Rubah, SI Kemeja Merah, dan sebagainya. Kadang karakter para guru ini meleset dari dugaannya. Ada yang awalnya dia anggap menjengkelkan, tapi ternyata baik hati. Dan begitu pula sebaliknya.
Dari membaca novel ini, kita akan mendapatkan betapa kejujuran itu tidak mudah digenggam dan dipertahankan. Kadang ada masa si Botchan tergiur juga untuk berkompromi dengan keadaan, tapi dia kembali ke karakter aslinya: jujur meski seringkali ditimpa kesialan. Solidaritasnya tinggi sekali. Misalnya, di akhir-akhir novel, diceritakan ia diminta menyetujui kenaikan gajinya, tapi Botchan menolak karena itu sama dengan menyepakati mutasi seorang guru yang baik yang diminta pindah dari sekolah.
Novel ini masih terus dicetak, diterbitkan, dan diterjemahkan ulang beberapa penerjemah. Terakhir tahun 2021 diterbitkan ulang oleh penerbit Gramedia. Tapi saya memilih mereview dari buku terjemahan Jonjon Johana dan diterbitkan oleh kansha books, atas alasan penerjemah ini langsung menerjemahkan dari bahasa Jepang. Lagi pula, Jonjon Johana ini sudah menerjemahkan banyak karya bagus Jepang ke dalam bahasa Indonesia. salah satunya, karya-karya lama Haruki Murakami.
70 Komentar