Readtimes.id– Bekerja sesuai dengan cita-cita dan passion di usia muda adalah impian setiap orang. Namun, faktor kesejahteraan terkadang menjadi tantangan yang harus dihadapi, tak terkecuali ketika memilih profesi sebagai dosen.
Minggu 12 Januari 2025 menjadi momen membahagiakan dan tak terlupakan oleh Nurliana (28), Muhamad Gaus (28) dan Widya Astuti (25) karena mereka dinyatakan lolos menjadi dosen di Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Semua usaha dan doa terbayarkan.
“Senang sekali karena akhirnya bisa lulus di kampus yang cukup dikenal di Indonesia Timur, ” kata Nurliana pada Readtimes.
“Ini bukan hanya milik saya, tapi juga keluarga besar saya di kampung,” tambah calon dosen muda Universitas Negeri Makassar ini.
Hal yang sama juga dirasakan Muhamad Gaus (28) calon dosen muda Universitas Sulawesi Barat ketika mengetahui dirinya lolos menjadi dosen di jurusan Ilmu Politik.
“Perasaan senang itu sungguh tak bisa digambarkan dengan kata-kata. Ini cita-cita saya,” ungkap alumnus Universitas Hasanuddin, Makassar tersebut.
Gaus mengaku sangat bersyukur karena ini kali pertama dirinya mendaftar CPNS dan langsung diberi kesempatan untuk mengabdi.
Hal yang tidak didapatkan oleh Widya Astuti yang harus mengikuti dua kali tes CPNS hingga akhirnya diterima. Widya sekarang menjadi calon dosen muda di Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur.
“Ini adalah kali kedua setelah percobaan pertama gagal diseleksi administrasi. Tapi untuk formasi CPNS Dosen ini adalah yang pertama kalinya, ” kata Widya.
Dia mengaku sangat bersyukur karena dia bisa bekerja sesuai passionnya saat duduk di bangku kuliah.
“Sejak menjadi mahasiswa saya senang menjadi pemantik dan fasilitator dalam ruang-ruang diskusi, ” ungkapnya.
Mempertanyakan Kesejahteraan
Gaus, Widya dan Nurliana adalah sekian dari calon dosen muda yang lolos di tengah gencarnya wacana penghapusan tunjangan kinerja (tukin) untuk dosen di awal pemerintahan Prabowo-Gibran.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Kemdiktisaintek, Togar M Simatupang mengatakan, tidak ada anggaran tunjangan, baik tukin maupun tunjangan profesi bagi dosen untuk tahun 2025. Togar menjelaskan salah satu penyebab ketiadaan ini adalah karena adanya perubahan nomenklatur.
Dia memaparkan sejatinya peraturan terkait tunjangan dosen telah ada, namun berbagai perubahan nomenklatur seperti Kementerian Diktiristek, Dikbud, Dikbudristek, dan kini menjadi Diktisaintek menjadi salah satu penyebab ketiadaan anggaran di bidang ini.
“Perlu disampaikan bahwa tukin (di peraturan) itu tidak ada tertulis kata-kata dosen, hanya tertulis pegawai,” kata Togar.
Wacana tidak adanya tukin ini membuat Nurliana bertanya tentang nasibnya sebagai dosen muda yang masih berpangkat rendah.
“Karena sebagai dosen, ada biaya-biaya tambahan per semester yang mesti dosen tanggung sendiri seperti penelitian dan sejenisnya dan ini tidak cukup hanya dengan gaji pokok, ” katanya.
“Belum lagi sertifikasi dosen untuk dosen muda seperti kami yang tentunya banyak persyaratan dan tetap harus mengeluarkan biaya sendiri,” tambah perempuan yang sering juga disapa Ana ini.
Kekhawatiran Ana juga menjadi kekhawatiran Widya calon dosen muda yang lolos di Universitas Mulawarman, perguruan tinggi yang letaknya jauh dari tempat tinggalnya di Sulawesi Selatan.
“Sebagai seorang yang akan merantau, tentunya hal ini menjadi sesuatu yang sangat diperhitungkan dan menjadi kekhawatiran bagi kami,” kata Widya.
Dia berharap hal ini menjadi perhatian pemerintah karena menurutnya tugas seorang dosen di Indonesia tidak hanya terkait tentang pendidikan, penelitian maupun pengabdian ke masyarakat tapi juga tugas administratif lainnya yang juga tidak mudah.
Harapan Widya juga menjadi harapan Gaus. Meskipun tidak harus jauh merantau karena diterima menjadi dosen di kampung halamannya, Gaus memandang bahwa negara mempunyai kewajiban memperhatikan kesejahteraan dosen karena mereka adalah garda terdepan untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045
“Negara bahwa mereka harus menjamin kesejahteraan dosen jika ingin mewujudkan Indonesia Emas 2045 karena mereka ini peluncur di lapangan, ” katanya.
Menagih Janji Presiden
Kesejahteraan guru dan dosen menjadi janji kampanye Prabowo-Gibran pada 2024 lalu. Presiden berjanji akan menaikan gaji Aparatur Sipil Negara (ASN) yang berprofesi sebagai guru atau dosen.
Kebijakan penggajian ini diarahkan pada upah minimum provinsi (UMP) dengan gaji tertinggi mengacu pada jabatan profesional, meskipun pelaksanaan dilakukan bertahap sesuai kemampuan keuangan negara.
Selain kesejahteraan guru dan dosen Prabowo-Gibran juga menyatakan komitmen untuk memperkuat dunia pendidikan, sains dan teknologi. Prabowo-Gibran mengungkapkan bahwa kemajuan sebuah bangsa ditentukan oleh kualitas pendidikan, serta penguasaan sains dan teknologi.
Mereka berjanji akan meningkatkan kualitas guru, pengembangan fasilitas pendidikan dan penyediaan pendidikan, termasuk menyediakan dana abadi pendidikan, dana abadi pesantren (untuk mencetak santri berkualitas unggul), dana abadi kebudayaan, dan dana abadi lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Lantas akankah janji itu ditepati?
Editor: Ramdha Mawadda
Tambahkan Komentar