Readtimes.id– Pembatalan keberangkatan jemaah haji Indonesia menyisakan dua pekerjaan rumah bagi Badan Pengelolaan Keuangan Haji (BPKH). Yakni memberikan kepastian bahwa dana terkelola dengan aman dan tantangan untuk terus mengoptimalkan nilai manfaat atau imbal hasil.
Seperti diketahui, untuk memberikan kepastian dana terkelola dengan baik, BPKH bahkan mengizinkan para calon jemaah menarik kembali dana haji yang telah dilunasi. Setelah ditetapkannya Keputusan Menteri Agama Nomor 660 Tahun 2021 tentang pembatalan keberangkatan haji, calon jemaah bisa mengambil dananya dengan melengkapi berbagai persyaratan administrasi.
Kendati demikian, ada catatan bagi yang melakukan penarikan dana haji, calon jemaah tidak akan mendapatkan pemanfaatan pengembangan dana.
Pengembangan dana dilakukan BPKH tak lain adalah untuk menutup biaya riil perjalanan ibadah haji (BPIH) yang menurut data Dirjen Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan, Astera Primanto, terus mengalami peningkatan tiap tahun.
Baca Juga : Menanti Wakil Indonesia Ke Tanah Suci
Pihaknya menyebutkan dalam webinar bertajuk “Pengelolaan Dana Haji 2021” bahwa BPIH pada 2017-2019 mengalami peningkatan mulai dari Rp 61,78 juta per orang menjadi Rp 66 juta, kemudian Rp70 juta per orang. Mengalami sedikit penurunan pada 2020 menjadi Rp 69 juta.
Mengutip dari berbagai sumber, Kepala BPKH Anggito Abimanyu menerangkan bahwa untuk pengembangan dana haji, seperti yang diamanatkan UU 34/2014 tentang pengelolaan keuangan haji, BPKH menempuh beberapa jalan alternatif investasi.
Beberapa diantaranya adalah menempatkannya di bank syariah untuk menjaga likuiditas serta pada sukuk negara– telah dimulai sejak 2009 yakni di surat berharga syariah negara ( SBSN) untuk mempermudah pengelolaan portofolio demi mendukung perwujudan transparansi pengelolaan dana haji.
Hal ini dilakukan tidak lain untuk menepis sejumlah isu miring terkait investasi dana haji yang dialihkan untuk pembiayaan Covid -19 serta pembangunan berbagai infrastruktur.
“Prinsipnya kami tidak berinvestasi di instrumen investasi berisiko, sehingga selama tiga tahun usia BPKH tidak ada kendala gagal investasi,” terangnya.
Tercatat saldo dana haji yang dikelola BPKH terus mengalami peningkatan tiap tahunnya. Yaitu Rp124, 32 triliun pada 2019, menjadi Rp149,15 triliun per maret 2021.
Banyaknya jumlah anggaran yang dikelola BPKH berbanding lurus dengan jumlah antrian calon jemaah yang kian bertambah pula. Tak ayal menuntut BPKH untuk mengoptimalkan imbal hasil pengelolaan dana yang dilakukan melalui sejumlah investasi yang selama ini telah dijalankan untuk mendukung penyelenggaraan ibadah haji yang lebih berkualitas.
Menag Kritik BPKH
Tuntutan serta kritikan paling banter belum lama ini datang dari Menteri Agama Yaqut Cholil yang menganggap BPKH cenderung bermain aman dalam perencanaan investasi dana haji. BPKH yang masih berkutat pada sukuk dan deposito dianggap menghasilkan imbal hasil sedikit.
Yaqut menilai, tingkat imbal hasil investasi yang minim ini justru memberi kerugian bagi calon jemaah. Sebab, mereka tetap harus menyisihkan hasil investasi untuk pengeluaran biaya operasional BPKH yang ternyata tidak optimal dalam melakukan tugas kelola tersebut.
“Saya menilai jemaah dirugikan karena harus membiayai operasional lembaga baru yang ternyata hasilnya sama saja,” terangnya melalui Sekretaris Jenderal Kementerian Agama Nizar Ali saat Webinar Pengelolaan Dana Haji 2021 yang diselenggarakan Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI).
Menurut catatan Menag, rata-rata imbal hasil investasi dari pengelolaan dana haji BPKH sebesar 5,4 persen per tahun. Besaran ini dianggap tak jauh berbeda dengan torehan Kementerian Agama.
Padahal, pengelolaan dana haji oleh BPKH sudah berjalan selama beberapa tahun. Selain itu, sebelumnya BPKH menjanjikan tingkat imbal hasil bisa lebih tinggi saat badan ini baru mau dibuat.
Keraguan BPKH dalam bersikap ini tidak lain dampak dari aturan pengelolaan investasi dana haji yang sangat mengutamakan prinsip kehati-hatian demi kemaslahatan umat, dimana seperti diatur dalam undang-undang pengelolaan keuangan haji seperti yang diterangkan pakar ekonomi syariah UIN Alauddin Makassar, Muslimin Kara, kepada readtimes.id.
Adanya frasa “tanggung renteng” dalam aturan yang tertuang dalam undang -undang tersebut, yang artinya jika ada kerugian investasi maka BPKH adalah pihak pertama yang harus bertanggung jawab. Hal ini menjadi tali pengikat bagi BPKH sehingga tidak luwes menggunakan wewenangnya.
“Dalam situasi ini jika pemerintah tetap ingin mengoptimalkan pelayanan kepada jemaah maka ubah saja BPKH menjadi lembaga ekonomi yang tidak hanya bertugas mengelola uang tapi juga mencari sumber-sumber pendapatan yang lain,” terangnya.
Dengan demikian negara juga bisa mengongkosi biaya operasional BPKH melalui APBN tanpa harus membebani dana yang dibayarkan calon jemaah seperti halnya lembaga lain.
Menurutnya, ini penting selain memberikan rambu-rambu hijau pada BPKH untuk kemudian main pada investasi yang sifatnya high level melalui peraturan perundang-undangan yang bisa meningkatkan nilai manfaat untuk diberikan pada jamaah.
Baca Juga: Mereka yang Rindu Baitullah
Kendati demikian untuk mewujudkan itu, baik pemerintah melalui Kemenag dan BPKH sejatinya harus berada dalam satu paham. Karena seperti yang dilihat selama ini Kemenag hanya memperhatikan pelayanan ke Tanah Suci serta mengeluhkan terkait persoalan antrian yang makin panjang tiap tahun tanpa memperhatikan betapa kompleksnya pengelolaan dana haji.
Sementara di sisi lain BPKH sibuk sendiri mendatangkan pendaftar jemaah haji sebanyak-banyaknya untuk demi terus beroperasi tanpa kemudian menaruh perhatian yang lebih terhadap peningkatan kualitas pelayanan.
1 Komentar