Judul : Mencari Arab, Melihat Indonesia
Penulis : Kevin W. FOGG
Penerbit : MATABANGSA
Tahun : 2017
Tebal : 46 halaman
Christiaan Snouck Hurgronje (1857—1936) adalah peneliti yang sangat fenomenal dalam sejarah kolonialisme Belanda di Indonesia. Ia juga sekaligus menjadi Penasihat untuk Urusan Pribumi dan Arab. Ia kerap dikaitkan dengan kekalahan Aceh setelah perang 31 tahun (1873—1904) dengan Belanda. Isu Hurgronje pura-pura masuk Islam ketika berada di Mekkah dan menjadi mata-mata di Aceh kerap jadi isu miring utama menyangkut dirinya.
Namun, bagaimana sesungguhnya kacamata Hurgronje melihat Islam di Indonesia, khususnya di Aceh, tidaklah banyak didiskusikan di khalayak umum. Padahal, warisan cara pandang Hurgronje sedikit-banyak masih kita temukan pada banyak orang, tak terkecuali kalangan muslim sekali pun. Bias antara Islam Arab dan Islam lokal rasa-rasanya masih sering jadi topik dalam perbincangan umum.
Buku tipis berjudul “Mencari Arab, Melihat Indonesia” yang ditulis oleh Kevin W. FOGG, sarjana dalam bidang Sejarah Islam Sejarah Asia Tenggara, ini memberi pengantar ringkas-padat-jernih kepada kita perihal cara pandang Hurgronje melihat Islam Indonesia. Buku dengan anak judul “Kacamata Arab Snouck Hurgronje tentang Hindia Belanda” ini menyajikan kita metodologi yang digunakan Hurgronje dalam menganalisa Islam Indonesia.
Sebelum lebih jauh masuk ke substansi cara pandang keilmuwan serta sikap Snouck Hurgronje terhadap Islam, sedikit kita ulik perjalanan hidup Hurgronje untuk mehamami bagaimana perkembangan cara pandang tersebut terbentuk. Snouck Hurgronje sudah dari awal perjalanan dunia akademiknya tertarik dengan wacana Islam. Disertasinya saat menjadi mahasiswa di Leiden Belanda berjudul The Feast of Mecca (Perayaan Mekkah). Disertasi ini berisi perihal asal-muasal ritual haji, yang sumber-sumbernya berasal dari sumber tekstual yang menjadi rujukan dan sumber ajaran Islam (hlm 7).
Ia kemudian mengunjungi jaziarah Arab pada 1884 di Jeddah dan berada di sana selama 4 tahun. Nah, selama keberadaannya di Jeddah inilah dia kemudian mengucapkan kalimat Syahadat dan masuk Islam. Nama Islamnya adalah Abdul Ghaffar. Dia mengamalkan ajaran Islam, dia disunat, dan mempelajari secara detail kehidupan sosial dan lingkungan fisik orang Arab. Meskipun kemudian berbagai sarjana berdebat dalam mempersoalkan apakah Hurgronje masuk Islam karena panggilan hatinya atau karena kepentingan profesionalitas keilmuwanannya. Catatan hariannya yang menjadi sumber diskusi pun tidak begitu terang memberi jawaban.
Selama di Arab, Hurgronje berinteraksi dengan beragam manusia dari berbagai ras, termasuk orang Islam dari luar Arab seperti Asia Tenggara, salah satunya Indonesia. Orang Islam dari Indonesia disebut sebagai Islam Jawah. Hurgronje memberikan penilaian jika orang Islam Jawah ini inferior terhadap dunia Islam Arab. Jarang dari orang Islam Jawah ini yang menjadi guru besar di sana.
Nah, cara pandang ini kemudian menjadi panduan Hurgronje dalam menilai Islam Indonesia, khususnya Islam yang dipraktikkan di Aceh. Pada 1889, Hurgronje ditunjuk oleh Menteri Penjajahan menjadi Penasihat untuk Urusan Pribumi dan Arab. Ia dipercayakan untuk mengemban tugas mengusulkan kebijakan apa yang tepat diberlakukan menyangkut pribumi.
Dari sinilah ia secara intens selama tujuh kali sejak 1891—1903 mengunjungi Aceh dan mempelajari kebiasan-kebiasan masyarakatnya. Dari kunjungan tersebut kemudian terbitlah dokumen yang dibukukan menjadi The Achehnese (Orang Aceh) dalam dua jilid yang masing-masing hampir sama tebalnya. Di dalam dokumen panjang itu, diudarkan pelbagai aspek kehidupan orang Aceh, mulai praktik kebudayaannya, sampai sistem pengetahuan, sastra, permainan, dan agamanya.
Nah, lantas metodologi apa yang digunakan Hurgronje dalam melihat Islam di Indonesia khususnya di Aceh. Dia menggunakan tiga pendekatan: pendekatan komparatif, fokus non-Indonesia, dan dan preferensi terhadap ortodoksi Arab (hlm 23). Pertama, dalam pendekatan komparatif, Hurgronje sepenuhnya melihat Arab sebagai pusat. Sehingga dengan gampangnya dia menyimpulkan bahwa ajaran Islam yang dipraktikkan di Aceh banyak keluar dari inti Islam, orang Aceh banyak yang tidak saleh, dan malah ada praktik dalam nilai islam yang terlalu berlebihan dilakukan di Aceh.
Kedua, dalam soal fokus non-Indonesia, Hurgronje justru tidak mencoba menggali lebih jauh tentang Aceh itu sendiri. Dia melulu membahas praktik Islam di tempat-tempat yang dipandangnya lebih superior, khususnya dunia Arab. Ketiga, dia melihat ortodoksi Arab sebagai patokan. Misalnya, dia sangat memuja sistem khilafah (pemerintahan klasik) yang ia gambarkan sebagai contoh monarki konstitusional yang adil. Apapun yang berasal dari masa lalu Islam di Arab dilihat sebagai patokan utama oleh Hurgronje.
Begitulah, pada akhirnya Hurgronje menimbulkan bias-bias keilmuwan ketika mempelajari praktik Islam di Indonesia. Sialnya, melalui penilaiannya ini, dia dianggap berhasil memberikan usulan jitu kepada pemerintah Kolonial yang nyaris putus asa menghadapi rakyat Aceh. Hurgronje menyarankan Pemerintah Kolonial dengan tetap mengayomi rakyat Aceh, namun tetap melanjutkan perang dengan para ulamanya.
Walhasil, Aceh yang bertahan selama 30an tahun tumbang dan kalah pada 1904. Itu berkat salah satunya adalah sumbangan usulan dan pemikiran dari Snouck Hurgronje.
2 Komentar