RT - readtimes.id

Jalan Panjang Penanganan Tragedi Sepak Bola dan Pentingnya Perencanaan Risiko

Readtimes.id- Tanggal 1 Oktober lalu menjadi hari kelabu sepak bola Indonesia dan dunia. Ratusan nyawa melayang di Kanjuruhan Malang. Ada berbagai macam versi tentang jumlah korban meninggal dalam peristiwa pilu itu, tetapi yang pasti, tidak ada olahraga yang lebih berharga dari sebuah nyawa.

Peristiwa di Kanjuruhan Malang tidak hanya langsung menarik perhatian dunia, tetapi juga masuk dalam catatan sejarah sebagai salah satu dari tiga tragedi terburuk dalam stadion, bersama dengan tragedi di Estadio Nacional, Peru dan Accra Stadium, Ghana.

Mirisnya, ketiga tragedi terburuk dalam sepak bola tersebut seakan adalah sejarah yang terulang. Suporter melakukan protes secara anarkis, pasukan pengaman membalas dengan tembakan gas air mata, dan massa yang panik akhirnya menyebabkan orang-orang saling berdesak-desakkan.

Berkaca pada tiga kasus tersebut, maka bisa dikatakan bahwa penanganan terhadap massa memegang peranan yang teramat penting untuk mengurangi dampak yang lebih buruk lagi. Hal yang sama juga dapat dilihat dari bagaimana tragedi-tragedi dan keributan terburuk dalam olahraga yang terjadi. Sebut saja seperti tragedi Hillsborough di Inggris yang menelan 97 korban jiwa.

Menurut peneliti dari University of Sheffield tentang tragedi tersebut, perencanaan terhadap situasi terburuk memegang peranan penting dalam menangani sebuah pertandingan olahraga, utamanya untuk laga yang memiliki tendensi ketegangan, seperti yang terjadi pada pertandingan Arema Malang kontra Persebaya Surabaya yang notabene merupakan sebuah derby. Walau sejatinya sudah ada itikad menghindari hal tersebut dengan hanya membiarkan pendukung Arema yang menonton pertandingan tersebut secara langsung dan sudah ada permohonan pemindahan jam pertandingan ke sore hari, walau akhirnya ditolak. 

Sayangnya, usaha-usaha yang telah dilakukan tersebut nyatanya masih kurang ampuh dalam menangani kerusuhan yang terjadi. Usaha-usaha tersebut pada akhirnya menjadi kurang efektif karena tidak terjadinya sinkronisasi antara beberapa aspek dalam manajemen resiko, seperti yang diutarakan oleh Nugroho Setiawan, Security Officer di Asian Football Confederation (AFC) saat diwawancarai oleh Hellena Souisa dari ABC News.

Adapun aspek-aspek yang harus diperhatikan dalam membuat perencanaan tersebut menurut Nugroho adalah adanya kesamaan persepsi pengamanan di antara semua stakeholder, kondisi infrastruktur, serta perilaku suporter. Pada akhirnya, ketidaksamaan persepsi pengamanan di antara semua stakeholder dapat dilihat dari tanggapan Kapolda Jawa Timur, Irjen Nico Afinta yang menganggap bahwa penanganan dengan gas air mata tersebut sudah sesuai dengan prosedur untuk menghalau massa yang anarkis. Sayangnya, hal tersebut tidak senada dengan aturan FIFA tentang keamanan dalam stadion yang tidak memperbolehkan penggunaan gas air mata dalam menertibkan massa.

Padahal jika berkaca pada peristiwa di Ghana dan Peru, penanganan massa di stadion dengan gas air mata adalah langkah yang teramat berbahaya mengingat akses keluar stadion yang terbatas, apalagi dengan akses keluar di Stadion Kanjuruhan Malang yang mayoritas tertutup pada saat peristiwa tersebut terjadi.

Menurut Alison Hutton dari University of Newcastle, Australia, penanganan massa penonton olahraga sebisa mungkin dengan menggunakan pendekatan yang tidak represif seperti meminimalisir penggunaan seragam anti huru hara untuk mengurangi intimidasi terhadap penonton.

Jika mengacu kepada tiga elemen penting dalam membuat perencanan seperti yang diungkapkan oleh Nugroho Setiawan, maka sudah seharusnya diperlukan sejumlah persiapan yang matang dalam menyiapkan sebuah event olahraga. Perlu satuan pengamanan yang tidak hanya sebatas berasal dari oknum kepolisian, tetapi juga mereka yang telah dipersiapkan untuk menangani acara olahraga, sebagaimana Inggris yang memberlakukan kontrol lebih terhadap pihak kepolisian dalam menangani sebuah pertandingan olahraga setelah peristiwa Hillsborough.

Selain memberikan pembekalan yang lebih terstruktur kepada satuan keamanan, pihak stakeholder sepak bola Inggris juga mulai memperbaiki manajemen stadion, hal yang senada juga dilakukan oleh pemerintah Skotlandia untuk menyikapi peristiwa di Ibrox Stadium. Perlunya pihak yang bertanggung jawab dalam memastikan akses keluar dapat digunakan pada situasi tertentu untuk mencegah kemungkinan terburuk.

Perbaikan manajemen di dalam stadion serta penetapan sejumlah protokol keamanan juga dapat kita temukan dalam kebijakan liga basket Amerika, NBA setelah peristiwa perkelahian skala besar yang terjadi dalam peristiwa yang disebut Malice at The Palace. Walau tidak menimbulkan korban jiwa, hal tersebut tentunya akan merusak citra olahraga di negeri Paman Sam. Maka untuk menanggulanginya, pihak komisioner pun memutuskan mengadakan pembekalan khusus terhadap satuan pengamanan untuk menangani situasi terburuk.

Terakhir, setelah adanya sinkronisasi antara kesamaan persepsi pengamanan dan kondisi infrastruktur yang sudah memadai, maka elemen yang tidak kalah krusial dalam mewujudkan keamanan dalam menonton pertandingan olahraga adalah perilaku suporter. Terlepas dari hasil buruk yang diperoleh tim kesayangan, aksi anarkis tetaplah tidak dibenarkan dalam menyampaikan aspirasi.

Kita dapat berkaca pada bagaimana suporter PSS Sleman yang melakukan aksi tutup mulut dan balik badan saat anthem tim berkumandang sebagai bentuk protes terhadap performa jeblok tim. Sebab jalan anarkis tidak akan serta merta menjadi pemicu dari sebuah perubahan performa, tetap diperlukan sejumlah proses dalam mewujudkan perubahan skala besar, sebagaimana proses yang panjang dalam mempersiapkan sebuah event olahraga.

Editor : Ramdha Mawadda

Jabal Rachmat Hidayatullah

Tambahkan Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: