Judul : Jejak-Jejak yang Tertinggal
Penulis : Sigit Susanto
Penerbit : Pustaka Ekspresi
Tahun : 1 Februari 2023
Tebal : 133 halaman
Sigit Susanto adalah seorang pejalan. Barangkali ia telah ditetapkan oleh sang pencipta untuk menanggung tugas sejarah agar senantiasa berkelana dan mencatat rangkuman perjalanannya sebagai pertanggungjawabannya. Setelah menyajikan kepada publik tiga buku catatan perjalanan yang fenomenal pada 2005 sampai 2008—Menyusuri Lorong-Lorong Dunia 1—3—tahun 2023 ini Sigit kembali dengan Kumpulan puisinya: “Jejak-Jejak yang Tertinggal.”
Jika kita membaca seksama puisi-puisi yang ia tulis tentang 44 negara dan beberapa tempat di dalam negeri yang ia datangi, kita akan berefleksi setidaknya tentang tiga hal: ingatan, rumah, dan hal-hal sepele. Banyak puisinya di dalam buku ini yang mengaitkan hal-hal di negeri jauh dengan yang ada di negeri asal atau kampung halaman penulis—dan sebab itu pula ini sekaligus berkelindan dengan persoalan ‘rumah’.
Nuansa remeh temeh sangat kuat dalam hampir semua puisinya: tidak berkisah hal-hal besar seperti sejarah negara itu, namun hanya berupa tangkapan-tangkapan peristiwa manusia dan lingkungannya. Namun tak pelak juga membawa kita pada perenungan tentang nasib manusia dan perubahan zaman. Menariknya, sebagai telah dikatakan di atas, sebagian puisi-puisi itu selalu menyelipkan gambaran-gambaran visual dan batin dari negeri sendiri: Indonesia.
Coba kita simak bagaimana Sigit ‘mengundang’ ingatan desanya saat menulis satu kanal di negeri jauh:
Canal Grande
Kubayangkan kali di desaku yang banjir setiap
musim hujan tiba tapi di sini ombak datang ke-
tika kapal-kapal penumpang menerjang ini ja-
lan raya air seperti di sungai kapuas. (hlm 41)
Puisi di atas membawa kita pada ketiga hal yang telah disebutkan: ingatan, rumah, dan hal-hal sepele. Canal Grande membawa Sigit pada pada banjir di desanya sendiri, dan jalan raya airnya dikaitkan dengan Sungai kapuas. Ini membuktikan adagium yang mengatakan bahwa semakin jauh kita pergi, semakin dekat rasanya kampung halaman sendiri.
Puisi-puisi yang memotret gambaran visual namun sekaligus secara tidak langsung (atau tidak disadari) justru membawa kita untuk merenungkan arti sebuah perkembangan dalam sejarah juga banyak kita temukan dalam beberapa puisinya. Mari kita kutip satu di sini:
Hanoi
Paman Ho permisi aku datang hendak meli-
hat ikanmu di kolam dan mendekap dua po-
hon kelapa dari negeriku yang tumbuh di tepi
kau sembunyi di bungker rumah kayu pengeras
suara dan kabel-kabel menjalar di pohon untuk
mengingatkan ada perang kini mengajak senam
ibu-ibu di tengah taman. (hlm 70).
Bagi yang mempelajari sejarah Vietnam abad 20, tentu tahu Paman Ho yang dimaksud adalah Ho Chi Minh, pemimpin pasukan komunis Vietnam Utara semasa perang. Dan menggelitik sekali ketika Sigit membandingkan fungsi pengeras suara saat perang di masa Paman Ho dengan masa sekarang: dulu digunakan sebagai pengingat adanya perang, saat ini justru untuk mengumumkan kegiatan senam ibu-bu di tengah taman.
Dan yang lebih menarik lagi, cara Sigit menuliskan puisinya tidak seperti kebanyakan puisi yang ditulis secara konvensional secara tipografi. Semua puisinya tidak memuat koma, kecuali satu titik di akhir puisi. Jadi kita perlu membaca dengan seksama dan hati-hati, untuk menangkap makna dan nuansanya. Menurut penulisnya, cara ini ia adopsi dari novel Ulysses karya James Joyce, sebuah metode yang disebut stream of consciousness yang nampak serupa igauan tanpa titik koma.
Seluruh judul puisi Sigit di dalam “Jejak-Jejak yang Tertinggal” mengambil nama tempat, namun tidak selalu isi puisinya bercerita tentang tempat tersebut. Ada yang hanya berkisah tentang kegiatannya membaca ulang sebuah puisi, menyaksikan anak-anak muda di malam hari, dan semacamnya.
Ya, membaca 240 puisi pendek-pendek Sigit Susanto dalam “Jejak-Jejak yang Tertinggal” akan membawa kita pada perenungan bahwa sejauh mana kita pergi, ingatan akan rumah atau kampung sendiri akan senantiasa mengikuti. Barangkali puisi-puisi Sigit tak bertendensi untuk mencari kebaruan dalam bentuk maupun isi, namun pembaca akan merasakan betapa dalam keinginan Sigit untuk mencari makna terhadap hal-hal yang ia temui dalam perjalanan.
Untuk menutup ulasan ringkas kali ini, mari kita kutip satu lagi puisinya, yang kembali membuktikan bahwa bagaimana kampung halaman begitu kuat masuk dan merasuk ke dalam ingatan kita ketika berada di tanah asing:
Como
orang berteriak menawarkan celana kolor dan
kaus kaki aku seperti berpulang ke kampung
sendiri uang Euro menjadi alat transaksi sebagai
penanda ini bukan rumah sendiri.” (hlm 8)
106 Komentar