Judul : Perawan Desa
Penulis : W.R. Supratman
Penerbit : Sinar Hidoep
Cetakan : Pertama, November 2021
Tebal : lvi + 128 halaman
Barangkali pengetahuan dan pemahaman kita akan pencipta lagu Indonesia Raya, W.R. Supratman, masih terbatas. Mungkin kita merasa sejarah lagu itu sendiri perjalanannya mulus tanpa hambatan berarti: diciptakan, diperdengarkan, disetujui, lalu dinyanyikan. Padahal lagu itu telah melalui fase pengendapan konsep, diperdengarkan ke para sahabat, diperiksa liriknya oleh PID atau Dinas Intelijen Belanda, baru bisa diperdengarkan pada 1928.
Ya, barangkali sebatas itu. Kita barangkali juga akan kaget bahwa W.R. Supratman bukan semata seorang komponis yang menciptakan lagu-lagu dan pernah terlibat dalam group musik, namun juga seorang sastrawan yang menulis kisah roman. Dia tidak hanya sosok pemuda berkacamata bundar yang menenteng biola, namun juga seorang penulis fiksi yang menyerap fakta di sekitarnya.
Lengkapnya: Wage Rudolf Supratman adalah seorang pemuda berkacamata bundar yang menenteng biola, menjadi jurnalis, dan menulis roman atau kisah fiksi. Tambahan: seorang nasionalis yang resah melihat penderitaan yang dialami bangsanya oleh penindasan kolonialisme.
“Perawan Desa” adalah bukti akan hal itu. Ditulis pada 1929, setahun setelah dia memperdengarkan lagu Indonesia Raya pada Kongres Pemuda II, roman tipis ini mengalami nasib nahas. Belum sempat beredar dan belum sempat diserahkan secara resmi ke Perpustakaan Museum (sekarang Perpustakaan Nasional), pihak intelijen Belanda langsung gerak cepat melarang buku ini diedarkan.
Dan nyaris satu abad lamanya naskah ini ditemukan dan diterbitkan. Rupanya, sebelum diedarkan resmi ke publik, naskah yang dicetak 2000 eksamplar dengan biaya dari penulisnya sendiri ini sempat dikirimkan beberapa eksamplar ke luar kota untuk koleganya. Dan dari sisa-sisa yang terselamatkan itulah naskah ini hadir ke pembaca Indonesia.
Sebagai informasi tambahan, konon “Perawan Desa” hanya salah satu dari roman yang pernah ditulisnya. Ada dua lagi yang diketahui: “Kaoem Fanatik”, dan “Darah Moeda”. Namun dua yang terakhir ini sudah tak terlacak keberadaannya.
Lalu apa sesungguhnya isi kisah “Perawan Desa” dan apa yang hendak disampaikan atau dikritik oleh penulisnya?
“Perawan Desa” berkisah tentang seorang perempuan muda bernama Sitti Adminah. Dia dari Desa Ciharum Bandung, dari keluarga petani kaya. Panggilannya Mientje, mengikuti panggilan noni-noni Belanda. Ada tokoh lainnya bernama Sarlilah dengan panggilan Saar, teman perempuan Mientje. Keduanya baru saja lulus dari sekolah HBS (Hogere Burger School). Kemudian ada Soebagio, pemuda yang bertemu Mientje dan Saar di atas Sneltrein atau kereta api cepat.
Selain mereka bertiga, ada juga tokoh-tokoh lainnya yang perannya minor seperti Doel Rachim seorang petani, Pak Karto—ayahnya Mientje, dan lain-lain. Namun pusat konflik cerita berada khususnya pada nasib yang melanda Sitti Adminah yang berurusan dengan Soebagio.
Kisah roman ini dimulai dengan Sitti Adminah dan Sarlilah yang hendak vakansi atau pulang libur dari Batavia ke desa masing-masing. Bertemu di atas kereta api cepat yang jadi transportasi publik karena murah saat itu. Lalu muncullah Soebagio, pemuda tampan tinggi bergaya Eropa (yang di akhir cerita akan ketahuan jika dia sebenarnya seorang Eropa yang membawa lari uang perusahaan tempat dia bekerja).
Ada 19 bagian cerita, dengan pengisahan yang pendek-pendek saja. Dan empat bab pertama berisi adegan di atas sneltrein tersebut. Percakapan pun dimulai di antara mereka. Mientje atau Sitti Adminah ini lantas menyarankan agar Soebagio singgah di kampungnya di Ciharum Bandung. Rupanya Soebagio sudah menyimpan perasaan terhadap Mientje.
Ketika telah tiba di kampungnya, Sitti Adminah rupanya tidak kerasan dan ingin cepat balik ke Batavia. Dan memang dia pulang hanya untuk memberitahu orang tuanya bahwa dia berencana untuk mencari kerja di Batavia saja. orang tuanya yang nampak berpikiran terbuka tidak mencoba melarang-larang keinginan si Mientje tersebut.
Cerita berakhir saat si Soebagio rupanya benar-benar datang. Lalu si Soebagio mengajak si Mientje untuk pergi berpelesir ke luar kota, tepat pada saat yang sama Mientje berpamitan dengan orang tuanya untuk kembali ke Batavia. Dan ujung cerita roman ini ditutup dengan si Sarlilah, temannya Mientje, membaca koran dan memperoleh informasi jika Soebagio ini rupanya orang Belanda bernama van Stelen yang telah membawa lari uang Perusahaan tapi berhasil ditangkap oleh polisi, lalu si Mientje rencana akan dijadikan saksi.
Alur “Perawan Desa” nampak sesederhana itu. Namun, oleh W.R. Supratman, roman tipis dan sederhana ini diselipi deskripsi hubungan sosial atau ras yang timpang di Hindia Belanda, juga sekaligus kritikan-kritikan tajam kepada kaum kolonial dalam hal ini Belanda melalui tokoh-tokohnya, juga secara terang-terangan menyisipi cita-cita kemerdekaan.Misalnya, dalam satu adegan di dalam kereta, ada seorang Belanda yang hendak merebut kursi duduk seorang penumpang pribumi. Dia merasa dirinya ras tinggi, sehingga merasa berhak merebut tempat duduk si pribumi.
“Hei… aku punya tempat duduk di situ.”
“Tidak…aku duduk sudah sedari tadi.”
“Ei, jangan kurang ajar. Kwee (kamu) orang Selam (penduduk Betawi Asli) mau lawan sama aku, orang Belanda? Ayo, pergi kwee, jangan kurang ajar buat curi aku punya duduk.” (halaman 18).
Mientje sendiri digambarkan mulai tercerabut dari akar budayanya. Dia bergaul dengan orang Eropa, terbiasa dengan kehidupan kota yang dinamis, penuh dansa-dansi, menonton konser, membaca koran, dan sebagainya. Dan ketika pulang ke desanya, Mientje merasa asing, tidak terbiasa lagi dengan kehidupan kampung yang dianggapnya monoton, sepi, tanpa ada gairah sama sekali.
Yang menarik adalah bagaimana W.R. Supratman menyelipkan cita-cita kemerdekaan dan bagaimana agar cita-cita itu bisa tercapai.
“Kalau saya baca surat kabar, pergerakan bangsa kita sekarang maju juga buat dapatkan kemerdekaan, tetapi kita mesti pikir bahwa kemerdekaan itu bukan perkara gampang.”
“Ya, saya kira juga begitu. Sebagai orang desa, saya Cuma berpikir mesti kerja dengan sabar rajin supaya selamat.”
“Selain itu kita pun harus bekerja dengan otak. Saya sendiri mengakui bahwa bangsa sendiri masih banyak yang goblok. Buat dapatkan kemerdekaan, memang perlu dengan orderwijs (pengajaran) yang tinggi. Orang kebanyakan cuma bisa ribut, merdika, merdika, tetapi dikira bahwa kemerdekaan itu bisa didapatkan dengan jalan begitu?…” (halaman 114—115).
Dari contoh dua kutipan di atas barangkali kita bisa memahami kenapa pemerintah Kolonial Belanda melalui Jaksa Agung-nya mengeluarkan peraturan roman “Perawan Desa” tidak boleh beredar. Gagasan di dalamnya sungguh berbahaya, karena dapat menjadi propaganda untuk membangkitkan semangat bangsa Indonesia untuk merdeka.
Membaca “Perawan Desa” ini, dapat melengkapi pengetahuan dan pemahaman kita akan sosok seorang W.R. Supratman. Selain itu, kita akan punya bahan untuk menilai lirik Indonesia Raya yang sangat nasionalistik itu. Rasa-rasanya, antara isi roman “Perawan Desa” dan lagu “Indonesia Raya” memiliki semangat yang sama, saling mengisi dan melengkapi: anti kolonialisme, dan cita-cita untuk merdeka.
Dengan begitu, ketika kita akan menyanyikan lagu Indonesia Raya pada kesempatan lainnya, khususnya pada tanggal 17 Agustus tahun berikutnya, kita akan lebih bisa menyerapi makna liriknya. Karena pada tanggal 17 Agustus bukan hanya momen ketika Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya. Namun, dengan sangat kebetulan, W.R. Supratman sendiri meninggal pada tanggal yang sama, tepatnya: 17 Agustus 1938. Dia sakit tak lama setelah keluar dari penjara Belanda karena lagu ciptaannya, “Matahari Terbit.”
528 Komentar