RT - readtimes.id

Indische Partij: Jejak Langkah yang Menghantarkan Indonesia pada Kemerdekaan Sesungguhnya

Judul : Riwayat Indische Partij 1912—1923
Penulis : Hafidz Azhar
Penerbit : sukabaca
Tahun : 1 Juni 2023
Tebal : vi + 138 hlm

Agustus sejatinya menjadi momen yang tepat untuk kembali merefleksikan keberadaan kita sebagai negara-bangsa: Indonesia. Perayaan-perayaan tetap mesti digebyarkan. Namun, agar seluruh gegap gempita perayaan itu punya makna, tak ada salahnya mengenang kembali momen-momen tertentu dalam sejarah yang menjadi jejak penting yang menjadikan kita seperti sekarang ini.

Kita bisa menapaki awal-awal abad 20, masa benih-benih kesadaran nasional—hingga ditemukan kata “Indonesia” dalam makna politis, bukan hanya geografis—mulai disebarkan. Penanda yang bisa dikenali pada paruh abad modern ini adalah diterapkannya Politik Etis (konon katanya politik balas budi) di mana aktivitas gerakan organisasi massa tumbuh bak jamur di musim penghujan.

Indische Partij adalah salah satu dari sekian banyak organisasi massa yang patut kita pertimbangkan dan kita pelajari. Organisasi yang berdiri pada 1912 ini menyediakan kita begitu banyak pelajaran penting tentang kekonsistenan dalam berjuang, berani menghadapi tantantangan, dan senantiasa cerdas membangun strategi dalam melawan musuh.

Ada banyak buku sejarah yang mengetengahkan profil pergerakan partai ini. “Riwayat Indische Partij 1912—1923” adalah yang paling anyar—terbit Juni 2023 ini—yang memberikan gambaran perjalanan partai ini lengkap dengan detail-detail masalah internal yang dihadapi, strategi partai menggalang massa dan merekrut anggota, dan tentu saja kisah para tokohnya: Douwes Dekker, Suwardi Suryaningrat dan Tjipto Mangunkusumo—yang sohor dengan sebutan “Tiga Serangkai”.

Buku yang tergolong berketebalan sedang ini nampaknya bisa dikonsumsi oleh kalangan pembaca pemula dalam isu sejarah. Bagaimana tidak, buku ini tidak ditulis seperti buku sejarah pada umumnya yang sangat teoritik dan ketat dengan menggunakan metode penulisan sejarah—sebagaimana diakui penulisnya sendiri dalam kata pengantar. Secara alur, buku ini dirajut dalam model roman fiksi—bagaimana pertama kali Indische Partij ini tumbuh, berkembang, mendapatkan tantangan, hingga kematian totalnya pada 1923.

Secara narasi, buku yang ditulis oleh penulis muda (kelaihran 1990), Hafidz Azhar ini umumnya bernuansa deskriptif dengan data-data yang disusun dan dijalin dengan baik. Sehingga, melalui 18 bagian pendek-pendek, bisa saja pembaca akan menemukan begitu banyak informasi seperti tokoh-tokoh penting maupun penanggalan-penanggalan bersejarah, juga emosi yang terlibat saat mengikuti lika-liku kehidupan partai maupun para pengurusnya.

Telah dikatakan sebelumnya bahwa Indische Partij ini patut ditimbang dan dipelajari. Ya, partai yang dijalankan oleh Tiga Serangkai ini memberi cermin betapa pada masa itu para pendiri bangsa begitu gigih tak kenal takut meski diancam dan dihukum berkali-kali oleh bangsa kolonial Belanda. Karena dirajut dalam gaya roman tadi, kita akan mudah mengikuti sebab-akibat apa yang terjadi dalam tubuh Indische Partij ini.

Baik, mari kita ringkas apa yang dikisahkan buku ini tentang perjalanan Indische partij yang tergolong berumur cukup pendek ini—nyaris saja berumur satu dasawarsa. Itupun berjalan dengan tanpa restu rechtperson atau Badan Hukum dari Pemerintah Hindia Belanda.
Indische Partij didirikan pertama kali di Bandung pada 25 Desember 1912.

Organisasi ini dari awal sudah secara tegas mengarahkan visi dan misi partai untuk mencapai kemerdekaan. Dan oleh sebab visi misi itu, bisa dikatakan Indische Partij adalah partai politik pertama yang terbuka untuk semua golongan, tidak memandang golongan atau etnis—semua orang bumiputra bisa bergabung. “Indie voor Indiers (Hindia untuk orang Hindia),” itu semboyan mereka.

Namun, sayangnya, Badan Hukum yang diajukan ke Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Alexander William Idenburg, tidak disetujui alias ditolak. Penolakan ini tentu saja karena tujuan dan prinsip partai ini untuk mencapai kemerdekaan bangsa Hindia, dan demikian otomatis dianggap suatu pemberontakan.

Lalu pada 1913 tiga pionirnya yang kita sebut “Tiga Serangkai” tadi ditangkap dan diasingkan ke Belanda—yang rencana awalnya dibuang ke Banda Neira, Bangka, dan Kupang. Gara-garanya, mereka menanggapi rencana Pemerintah Kolonial Hindia Belanda utuk melaksanakan Peringatan Seratus Tahun Kemerdekaan Belanda. Tijpto dan Suwardi mengkritik rencana itu dengan menerbitkan artikel yang membuat mereka ditangkap dan ditahan.

Suwardi Surjaningrat menulis artikel, “Als Ik eens Nederlander”—yang kemudian diterjemahkan kemudian, “Jika Saja Nederlander)”. Lalu menyusul artikel berikutnya oleh Tjipto, “Kracht of Vrees”—Kekuatan atau Ketakutan”, dan oleh Suwardi lagi, :Een voor Allen, Allen voor Een—Satu untuk Semua, Semua untuk Satu”. Semua artikel menimbulkan reaksi keras dari pemerintah kolonial.

Singkat cerita, pada 13 September 1913, “Tiga Serangkai” kita berangkat ke Belanda menggunakan kapal Bulow. Suwardi sendiri membawa istrinya, Sutartinah atau lazim dikenal Nyi Hajar Dewantara—Ya, Suwardi Surjaningrat yang kita bicarakan ini adalah nama semula sebelum berganti menjadi Ki Hajar Dewantara. Keberangkatan mereka semua didanai oleh bumiputra yang bersimpati kepada gerakan mereka, diwadahi oleh Tado Fonds. Tado sendiri adalah kepanjangan dari Tot Aan de Onafhankelijkheid yang secara harfiah berarti “Sampai Kemerdekaan Tercapai”.

Kisah di tengah pengasingan ini menumbuhkan haru dan simpati tersendiri. Beberapa tokoh banga, misalnya Suwardi dan istrinya, didekati oleh perwakilan pemerintah kolonial untuk meninggalkan perjuangan mereka, dan pihak pemerintah kolonial akan memberikan mereka kenyamanan finansial dan keuntungan aspek lain. Tapi semua tawaran itu ditolak Suwardi dan istrinya.

Rentang tahun 1914—1914 mereka dipulangkan satu demi satu. Suwardi dan istrinya adalah yang pulang belakangan. Nanti ketika akhirnya mereka tiba di tanah air, masing-masing dari mereka masuk ke organisasi baru bernama Insulinde. Nampaknya pihak pemerintah kolonial tahu jika Insulinde adalah semacam perpanjangan tangan dari Indische Partij. Termasuk pula ketika Insulinde berganti nama menjadi National Indische Partij. Dan semuanya bernasib sama: tidak mendapat restu dari pemerintah Kolonial Belanda.

Nationaal Indische Partij kemudian dilarang total pada 1923. Dan pembubaran ini adalah perjalanan akhir gerakan politik Indische Partij. Dan “Tiga Serangkai” tadi berpisah dan menjalani gerakan atau perjuangannya masing-masing. Sekira setahun sebelum pembubaran total Nationaal Indische Partij, pada 3 Juli 1922 Suwardi Surjaningrat alias Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa. Temannya sendiri, Douwes Dekker, menempuh jalan yang sama seperti dirinya. Tjipto mengambil jalan lain lagi dalam berjuang.

Jejak-jejak perjuangan Indische Partij beserta langkah teguh tiga tokohnya mewarisi semangat tersendiri para perjuangan tokoh-tokoh bangsa setelahnya. Mereka menyajikan gambaran keberanian dalam bersikap, tidak mudah goyah dan tergoda, dan berani menghadapi risiko.

Lalu tumbuhlah orang-orang berani lain seperti Bung Karno, Bung Hatta, Jenderal Soedirman, dan lain-lain, yang pada akhirnya benar-benar menghantarkan kita pada kemerdekaan sesungguhnya pada 17 Agustus 1945.

Dedy Ahmad Hermansyah

109 Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: