“Kita bisa berdiskusi santai, asal ada kopi. Tapi dari tadi saya lihat kopinya tak kelihatan ya,” kata Nirwan Ahmad Arsuka sambil tertawa di tengah-tengah diskusi malam itu, Rabu 21 Juni 2023. Saya yang tengah memandu acara dan sebagai ‘tuan rumah’ mulai panik dan bingung. Betapa cerobohnya saya sampai tidak sempat mempersiapkan kopi untuknya.
Diskusi lalu kembali berlanjut. Malam itu, Nirwan duduk bersila mengenakan kaos polos putih, menghadap belasan peserta diskusi. Meski tinggal di ibukota Jakarta, aksen Sulawesinya—daerah kelahirannya—tetap nyelip dan mudah dikenali. Ia mengudar hal-hal di seputar sains dan sastra, sejarah kolonialisme kaitannya dengan perkembangan ilmu pengetahuan, dan kerja-kerja literasi yang bisa dijadikan alternatif untuk dieksekusi oleh generasi sekarang.
Dan sekali-kali dalam proses diskusi tersebut saya masih berpikir tentang kopi yang belum tersedia. Saya kesulitan memberi kode kepada teman untuk menyediakan kopi ini. Pun diskusi terlalu seru dan menarik untuk ditinggalkan.
Nirwan Ahmad Arsuka—budayawan, penulis, dan aktivis literasi. Barangkali ada predikat yang lain, namun setidaknya tiga hal itu yang melekat dalam citranya pada diri publik. Diskusi malam itu di komunitas Teman Baca, tempat saya beraktifitas, sesungguhnya bukan agenda utamanya datang ke pulau Lombok. Nirwan datang untuk agenda Pustaka Bergerak, sebuah jejaring kerja literasi yang dia didirkan sejak 2014 yang fokus menyebarkan buku-buku ke pelosok-pelosok di seantero Indonesia. Kami ‘membajak’ sedikit waktunya untuk mau berbagi dengan kami di Kota Mataram.
Nirwan Ahmad Arsuka—budayawan, penulis, dan aktivis literasi. Nyaris komplit. Sebagai budayawan, Nirwan terus mendorong agenda agar bagaimana sains dan sastra dapat menjadi properti kesadaran publik di Indonesia. Ia yakin bahwa dua hal ini dapat turut meningkatkan kualitas hidup orang Indonesia. Sebagai penulis, ia mengapresiasi dan mengulas secara kritis karya-karya sastra baik dari penulis dunia ataupun Indonesia.
Dan sebagai aktivis literasi, Nirwan mulai menjelajah berbagai sudut di pelosok Indonesia dan merajut jejaring kerja literasi bersama warga lokal yang memiliki minat dan semangat yang sama. Ada Perahu Pustaka di Mandar, ada Motor Pustaka, dan sebagainya. Segala kemungkinan dijajal, semuanya untuk mewujudkan ide di dalam kepalanya: orang-orang di pelosok desa dapat mengakses buku.
Nirwan adalah orang yang sangat geram dengan pernyataan berulang-ulang bahwa masalah kita di Indonesia dalam konteks literasi adalah minat membaca yang rendah. Bagi Nirwan, bukan minat baca yang rendah, tapi akses terhadap buku yang sangat minim. Ia percaya, jika buku-buku tersedia secara memadai di pelosok-pelosok desa, warga khususnya anak-anak akan senang membacanya.
Barangkali hal demikian didorong pula oleh kegilaan dan kecintaannya pada buku yang meluap-luap. Suatu kali ia pernah menyatakan pengakuan, ia pernah mencuri buku dan ketahuan. Sejak itu, ia berkomitmen akan mengembalikan buku-buku yang dia curi kepada masyarakat. Dari situlah Pustaka Bergerak diwujudkan, menjadi semacam dendam masa lalunya.
Nirwan memang masa lalunya bukanlah orang yang lahir dalam kondisi keluarga yang benar-benar berada. Ia yang lahir di Barru, Sulawesi Selatan pada 1966, melanjutkan pendidikan tingginya di tanah Jawa dan mengambil jurusan Teknik nuklir. Namun dia lebih fokus bergelut dengan hal-hal di seputar dunia sastra, walaupun ilmu sains tidak ditinggalkannya.
Pada diskusi malam itu di komunitas Teman Baca, ia mengatakan bahwa sains sangat penting dipelajari. Kita tak perlu malu belajar dari orang-orang Eropa macam Rumphius dan Alfred Russel Wallace. “Malah sebetulnya kita yang harus mengembangkan sains kita sendiri. Kita ini memegang pengetahuan yang diteliti oleh orang Eropa itu,” katanya kepada para peserta diskusi malam itu.
Dan saya, masih terganggu oleh kopi yang semestinya saya hidangkan untuk Nirwan Ahmad Arsuka.
Nirwan Ahmad Arsuka adalah sumur inspirasi. Ia yang nampak tinggal di menara tinggi dunia pengetahuan pada mulanya, lalu dengan penuh kesadaran dan suka cita turun ke bumi untuk berbaur dengan orang-orang, membawa buku-buku untuk dibaca oleh Masyarakat luas. Dia tidak ingin dunia bacaan menjadi ekslusif, hanya diakses oleh orang-orang tertentu saja.
Sebelum Nirwan Ahmad Arsuka meninggalkan sekretariat komunitas Teman Baca, kami sempat membangun sekian rencana untuk kegiatan literasi yang tepat untuk komunitas kami. Dia akan membantu. “Ayo, saya tunggu acara diskusi untuk mengenang Alfred Russel Wallace di sini. Bisa dalam bentuk diskusi buku atau respons fiksional atas buku Wallace yang terkenal itu (The Malay Archipelago,” katanya kepada saya.
Saya sempat berjanji untuk ini kepada Nirwan Ahmad Arsuka. Tapi satu janji yang saya simpan sendiri dalam hati dan tidak saya ucapkan di hadapannya: saya akan membayar hutang secangkir kopi untuknya jika bertemu di kesempatan berikutnya.
Namun, rupanya, hutang ini sepertinya tak akan bisa lagi terbayar. Pada Minggu malam, 06 Agustus 2023, Nirwan Ahmad Arsuka meninggal di apartemennya di Jakarta. Kepergiannya ini membawa duka mendalam bagi sahabat-sahabatnya, para relawan dan pegiat literasi, anak-anak di pelosok ayng dibawakannya buku, dan sebagainya. Ucapan duka cita terus berdatangan dari seluruh pelosok di Indonesia. Media sosial, koran-koran, ramai membicarakan dan memberitakan kepergiannya.
Saya sendiri membayangkan Nirwan adalah sosok laki-laki tua dalam film animasi pendek berjudul, “The Fantastic Flying Books”. Merawat dan menghidupkan dunia buku, melayani orang-orang yang ingin membaca buku. Namun, ketika dia harus pergi untuk selamanya, buku-buku itu mengantarkannya menuju tempat peristirahatannya yang terakhir.
Dan di tengah-tengah kesedihan ini, saya masih berpikir, bagaimana saya harus membayar secangkir kopi untukmu, kak Nirwan?
452 Komentar