RT - readtimes.id

Jejak Kembara dan Pemikiran Wallace di Nusantara

Judul        : Kepulauan Nusantara, Kisah Perjalanan, Kajian Manusia dan Alam

Penulis    : Alfred Russell Wallace

Penerbit    : Komunitas Bambu

Tahun terbit    : 2019

Tebal        : xiii + 524 halaman

Jika diajukan satu istilah teori evolusi atau seleksi alam, barangkali sebagian besar orang akan menyebut: Charles Darwin. Padahal, ada ilmuwan lain yang sosoknya tidak kalah sohor dan sumbangsihnya terhadap ilmu pengetahuan alam, khususnya biologi dan temuan teori evolusi, sangat besar. Sosok sohor tersebut adalah Alfred Russell Wallace. 

Ya, dialah Wallace, namanya yang lantas abadi dalam pelajaran anak Indonesia di sekolah. Melalui penjelajahannya atas flora dan fauna Nusantara, kita kemudian menelurkan konsep Garis Wallace, yakni sebuah garis imajiner yang membagi kategori flora dan fauna Indonesia. selain konsep tersebut, ada juga konsep lain bernama Efek Wallace, yaitu sebuah simpulan tentang bagaimana seleksi alam menyumbang kontribusi pada pusparagam fauna. 

Alfred Russel Wallace lahir pada 8 Januari 1923 di Usk, Wales Inggris. Ia menyandang predikat bukan semata sebagai seorang naturalis—peneliti binatang dan tumbuhan, namun juga sebagai seorang ahli antropologi dan biologi, penjelajah dan pengembara. Nah, dalam rentang 1854—1826, Wallace menjelajah dan mengembara ke wilayah Nusantara. Hasil penjelajahan dan kembaranya itu berupa dokumentasi karya berjudul “The Malay Archipelago”, atau Kepulauan Nusantara.

Ia hidup sezaman dengan Charles Darwin—yang di Indonesia kerap disalahpahami sebagai penelur teori manusia berasal dari kera itu. Wallace dan Darwin saling mengagumi satu sama lain. Darwin berkata seperti ini untuk buku “Kepulauan Nusantara”-nya Wallace:

“Luar biasa sekali Anda kembali dalam keadaan selamat setelah berbagai risiko penyakit dan pelayaran jauh, terutama pelayaran ke dan dari Waigeo yang begitu menarik. Dari semua kesan yang saya dapat dari buku Anda, yang begitu kuat membekas bagi saya adalah ketekunan Anda dalam ilmu pengetahuan. Sangat heroik. Dan saya begitu iri pada Anda, menemukan berbagai jenis kupu-kupu cantik, membuat saya merasa muda kembali ….” 

Saat Darwin mangkat, Wallace ikut mengiringi. Wallace sendiri meninggal pada 7 November 1913 di Dorset, Inggris. Nah, untuk mengenang pengembaraannya sebagai upaya menelusuri jejak petualangan dan pemikirannya, saya mengulas buku “Kepulauan Nusantara” tersebut di sini. 

Betapa Kaya Alam Indonesia dalam Karya Wallace

Buku “Kepulauan Nusantara” ini pada intinya berisi hasil penelitian dari perjalanannya selama delapan tahun menelusuri Nusantara dengan menelisik flora-fauna setiap tempat yang ia datangi. Perjalanannya merentang dari bagian paling barat seperti Singapura atau Sumatera hingga ke wilayah paling timur di New Guinea. 

Dia sering kali kagum terhadap kekayaan flora dan fauna yang dimiliki Kepulauan Nusantara. Jika kita refleksikan dengan khusyuk, kita akan menyimpulkan betapa kayanya kekayaan alam Indonesia saat itu. Ia kerap memperpanjang masa tinggalnya di daerah-daerah tertentu di Nusantara hanya untuk menemukan lebih banyak spesies binatang dan tumbuhan wilayah tersebut. 

Sebetulnya buku ini tema pokoknya ilmiah, tentang proses mencari dan mengklasifikasi berbagai spesies hewan yang lantas dibuatkan spesimen tersendiri. Namun, karena dikisahkan dengan gaya narasi perjalanan yang berisi interaksinya dengan penduduk lokal yang penuh cerita kocak dan menarik serta tantangan dan hambatan yang kadang datang, membuat buku ini tidak bosan dibaca—padahal  penuh dengan penggambaran rinci terkait bentuk fisik serta analisis setiap spesimen yang didapatinya dalam perburuan.

Saya yang sedang mempelajari kembali ilmu geografi mendapatkan banyak informasi yang membantu saya memahami lebih jauh karakter setiap tempat di Nusantara, khususnya daerah yang sekarang menjadi wilayah Indonesia (catatan: sebutan ‘nusantara’ pada zaman dulu juga mencakup beberapa bagian Asia Tenggara). Mulai dari pola sebaran flora-faunanya sampai karakter ras-ras yang mendiami setiap tempat tersebut. 

Yang khas dari narasi Wallace adalah cara dia menarik kesimpulan atas berbagai temuan dengan membuat perbandingan yang mudah saya pahami. Dia tetap mengudara penjelasan ilmiahnya, namun kemudian diikuti dengan penyederhanaan untuk memudahkan pemahaman pembacanya. Barangkali Wallace sudah tahu target pembacanya saat menuliskan bukunya ini. 

Tapi di atas semuanya, saya sebetulnya cukup dibuat ‘terganggu’ oleh analisa Wallace atas persoalan ekonomi politik di tanah Nusantara, khususnya terkait hubungan kolonial-pribumi. Di sini kacamata orientalisnya telanjang bulat, perspektif superior orang Eropa dengan jelas ngendon di dalam pikirannya.

Bias Orientalis Wallace dalam Memandang Penjajahan di Indonesia

Nah, seperti yang saya katakan sebelumnya, Wallace blak-blakan ketika menyampaikan penilaian atau gagasannya menyangkut persoalan ekonomi politik di nusantara, dalam hubungan Eropa-pribumi. Soal pandangan tanpa tedeng aling-alingnya ini kita bisa baca bab yang berbicara tentang Borneo (suku Dayak, ditulisnya ‘Dyak’), Jawa, Manado, dan Banda. 

Pertama, ketika berbicara tentang ras dan peradaban, Wallace tanpa ragu mengambil posisi pada kubu yang beranggapan Eropa adalah ras tinggi dan peradaban yang maju, sebaliknya ras di Nusantara masih rendah dengan peradaban yang juga terbelakang.

Kedua, sebagai konsekuensi atas posisi di atas, Wallace berpendapat bahwa keberadaan Eropa tentu akan memberi dampak positif pada proses memajukan peradaban pribumi. Maka itulah Wallace memberikan pembenaran secara ilmiah pada kolonialisme di Nusantara oleh orang Eropa. 

Coba saja baca argumentasinya pada kebijakan Tanam Paksa di Jawa, atau monopoli rempah-rempah di Maluku—semua dibenarkan olehnya dengan dasar pemikiran sebagai proses memberdayakan pribumi. Malah pandangan Multatuli dalam Max Havelaar yang bercerita tentang kejamnya penguasa kolonial dan pribumi dinilainya terlalu melebih-lebihkan fakta. Baginya, tak ada cara cepat bagi pribumi untuk menanjak ke fase manusia beradab selain harus menjalani proses menyakitkan dalam konteks kolonisasi Eropa. Ini menarik meski membuat ‘gemas’.

Barangkali, cara pandangnya melihat persoalan sosial dipengaruhi oleh kenyataan Wallace seorang naturalis yang menjadi salah satu yang menemukan teori seleksi alam. Mungkin saja.

Tapi diluar itu, sebagai ilmuwan, apa yang dihasilkan Wallace tentu patut dihargai. Dia seorang naturalis hebat!

Dedy Ahmad Hermansyah

Tambahkan Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: