Judul : Coming up for air
Penulis : George Orwell
Penerbit : Gramedia
Tahun terbit : Desember 2021
Tebal : 320 halaman
Perang, sebagaimana kita tahu, memberikan efek menghancurkan dalam kehidupan umat manusia. Ia dapat meluluhlantakkan rumah kita, mengubah sahabat menjadi musuh, dan menghancurkan kenangan masa lalu kita bersama orang-orang tercinta. Efek terakhir yang disebutkan—perang yang menghancurkan kenangan—menjadi tema novel “coming up for air, menghirup udara segar” yang ditulis oleh sastrawan besar Inggris, George Orwell.
George Orwell, saya kira, sudah sedemikian sohor dalam kancah sastra dunia. Ia telah menulis sekian buku, dari novel hingga kumpulan esai. Orwell dikenang dengan perhatiannya yang besar pada praktik politik otoritarianisme yang dijalankan beberapa negara, khususnya negara-negara adidaya. “1984” adalah karya mahadashyat yang berkisah tentang praktik otoritarianisme di Inggris, tempat kelahirannya. Selain novel “1984”, ia juga menulis “Animal Farm”, satu fabel indah namun penuh dengan pelajaran tentang politik.
Nah, “coming up for air” adalah buku ketujuh Orwell yang ia tulis pada rentang waktu 1938—1939, lalu diterbitkan pada Juni 1939 oleh Victor Gollancz. Dan pada Desember 2021 diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Penerbit Gramedia.
Bagi penggemar karya-karya George Orwell, saya kira bakal rugi sekali jika melewatkan novel setebal 320 halaman ini. Kerinduan kita pada narasi politik namun lembut dan cenderung lambat khas Orwell bakal terobati oleh novel ini.
Apalagi membacanya di tengah perang yang dilancarkan Rusia atas Ukraina saat ini akan membuat novel ini punya jiwa tersendiri. Dan sebagai informasi, jika Amerika turut menjadi sorotan dalam perang Rusia-Ukraina, yang membuat kita teringat pada Perang Dingin antara Rusia dan Amerika, nah Orwell turut ‘terlibat’ di sana. Konsep “Perang Dingin” pertama kali dicetuskan Orwell melalui esainya, “Anda dan Bom Atom”, yang ditulis pada 19 Oktober 1945, sebagai kontemplasinya akan bayang-bayang perang nuklir dan adanya perdamaian yang ternyata tidak ada. Kondisi inilah yang disebut oleh George Orwell sebagai Perang Dingin.
Nah, mari kita kembali pada novel “coming up for air”. Kisah dasar dari buku ini sederhana: tentang si tokoh utama bernama George Bowling yang memutuskan mengunjungi kampung masa lalunya, Lower Binfield. Namun ia harus menelan kekecewaan ketika ia nyaris tak mengenali rupa kampungnya sendiri, teman-teman dan orang-orang di masa kecilnya juga tak lagi temui, dan perang ikut menjadikan suasana menjadi muram dan menghancurkan gambaran nostalgianya pada masa lalu.
Nuansa politik di buku ini dibalut dengan kisah nostalgia sang tokoh utama. Dari keseluruhan isi novel, nyaris sebagiannya diisi kisah nostalgia tersebut. Kita layaknya mendengar seorang teman lama yang sedang menumpahkan curahatan hatinya kepada kita. Bowling dengan jenaka mengisahkan pengalamannya memancing—hobi yang paling ia gemari (sebab itulah sampul buku ini bergambar ikan), kisahnya berkencan dengan seorang gadis pertama kali, atau kecintaannya pada membaca buku.
Novel ini cukup berbeda dengan novel-novel lainnya Orwell yang nampak kasar dan berapi-api (Burmese Days), distopia (1984), dan beraroma fabel (Animal Farm). Saya dibekap dengan lembut ke dalam pengalaman personal sang tokoh utama yang mendorong saya untuk mencoba menyelam ke masa kecil saya sendiri. Benar-benar menyentuh!
Peralihan dari kelembutan kisah masa kecil itu lantas membawa kita pada masa kini sang tokoh utama yang bekerja sebagai salesman di sebuah perusahaan asuransi, menghadapi kehidupan rumah tangga yang kurang bahagia, dengan fokus mengeluh pada sosok istrinya, Hilda, yang cerewet, selalu merasa kekurangan uang, penghematan berlebihan, dan sebagainya. Ada kesan kocak tapi ironis di sini.
Saya merasa banyak tokoh utama novel-novel Orwell merupakan sosok sadar politik, sadar kelas, tapi menderita. Termasuk si George Bowling dalam novel ini. Si George mendapatkan kesadaran politiknya dari pengalamannya terlibat perang, ditunjang buku-buku bacaan, serta bergabung dalam Club Buku left.
Sikap politik anti otoritariannya masih bisa didapatkan dalam novel ini. Bagian-bagian pertengahan dan akhir novel kita akan dibawa pada perdebatan kaum komunis dan fasis di Inggris, yang dianggapnya terlalu berapi-api, dan bertentangan dengan nilai yang dianut George yang berangkat dari pengalaman sendiri mengalami perang langsung di Prancis.
Bagian akhir novel tak ada yang ‘mengejutkan’. Sang tokoh nampaknya tetap akan menghadapi drama keluarga tragis yang sama, kehidupan sosial-politik yang sama, dan seterusnya.
Hanya satu yang tidak lagi sama: kampung masa kecilnya telah hilang. Dihancurkan oleh perang!
9 Komentar