Readtimes.id- Menjaga integritas profesi wartawan dalam peliputan sangat diperlukan. Kode etik profesi wartawan harus selalu dikedepankan saat para jurnalis dalam menjalankan tugasnya. Sehingga nilai-nilai jurnalis harus dikembalikan kepada wartawan yang memiliki kompetensi. Serta selalu mengikatkan dirinya pada nilai-nilai dan etik profesi ketika bertugas dilapangan .
Banyaknya keluhan masyarakat terkait oknum yang melakukan pemerasan dengan mengaku wartawan dan LSM. Mereka kerap melakukan aksinya di kota hingga kepelosok desa. Aksi yang dilakukan oleh oknum wartawan dan LSM tersebut sangat mencederai profesi jurnalis yang bekerja secara profesional berdasarkan kode etik dan Undang-Undang Pers.
Contoh kasus salah satu klinik Kesehatan di Makassar, oknum meminta sumbangan dengan paksa, dengan menyebutkan embel-embel media dan organisasi. Sebelum ke klinik, oknum tersebut mengaku telah mengelilingi Puskesmas untuk meminta dana dengan membawa proposal.
Tidak hanya itu, terjadi pemerasan terhadap sekretaris desa di Kabupaten Sinjai, senilai Rp 25 juta, dengan mengancam akan melakukan pemberitaan apabila tidak dipenuhi permintaannya. Polisi yang mengetahui aksi tersebut lalu melakukan operasi tangkap tangan (OTT) saat korban dan pelaku melakukan transaksi dirumah warga. Dalam kasus ini, polisi menyita barang bukti berupa uang pecahan Rp 50rb senilai Rp 25 juta, 2 handphone berbagai merek, serta 2 buah kartu identitas atau ID Card Pers.
Kasus yang demikian banyak terjadi. Sehingga masyarakat harus cerdas dan bisa membedakan, apakah dari media resmi dan jurnalis yang kredibel itu tidak akan meminta uang sepeserpun. Oknum wartawan yang melakukan pemerasan, tentunya perbuatan tersebut merusak citra wartawan.
Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Makassar, Dr Firdaus Muhammad, MA mengatakan, masyarakat harus tahu mana wartawan yang sesungguhnya yaitu punya kartu pers. Masyarakat juga harus cerdas, ketika ada wartawan bertanya sesuatu, sebaiknya meminta tanda pengenal terlebih dahulu. Kita tidak apa-apa menanyakan ID Cardnya mana, wawancaranya tentang apa, jadi tetap harus ada prosedural.
Sebaliknya kepada teman-teman wartawan dari berbagai media mainstream bahwa jangan kecewa dan protes ketika ada orang yang mempertanyakan mengenai hal tersebut.
“Seperti beberapa kejadian di Makassar yang mau menawarkan jabatan dan justru mengintimidasi ke masyarakat. Jadi memang ada yang menggunakan cara seperti itu. Adanya jenis pengancaman yang terjadi misalnya sekolah yang menerima dana bos, akhirnya harus mengalokasikan anggaran dana untuk wartawan, karena diancam,” ujarnya kepada readtimes.id, Rabu 10 Februari 2021.
Sementara media yang memberitakan kasus seperti media mainstream tidak ada yang mengancam seperti itu.
Hal ditegaskan oleh Dr Firdaus selaku Majelis Etik AJI Kota Makassar, bahwa wartawan harus memliki etika jurnalis. Ada Organisasi seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Itu lebih dari cukup, untuk mereka juga harus menegakkan, menjalankan dan mengimplementasikan kode etik jurnalistik.
Wartawan tidak boleh mengancam, wartawan itu mencari informasi. Perlu ada etika bertanya demi mendapat informasi yang diinginkan.
Undang-Undang Pokok Pers No 40 Tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik. Dimana pasal 6 menyebutkan profesi jurnalis tidak boleh disalahgunakan, tidak boleh terima suap, apalagi sudah memeras, mengancam dan mengatasnamakan wartawan, sudah jelas ini adalah pidana.
Kode etik jurnalistik berfungsi sebagai landasan moral dan etika agar seorang wartawan senantiasa melakukan tindakan tanggung jawab sosial.
Kode etik jurnalistik berisi apa-apa yang menjadi pertimbangan, perhatian, atau penalaran moral profesi wartawan. Isi etikanya mengatur hak dan kewajiban dari kerja kewartawanan. Landasan kode etik jurnalistik mengacu pada kepentingan publik. Sebab kebebasan pers yang ideal adalah kebebasan yang tidak mencederai kepentingan publik dan tidak melanggar hak asasi warga negara.
Tambahkan Komentar