
Oleh: Arby Binu*
Beberapa hari terakhir, publik kembali dihadapkan pada isu kenaikan dana bantuan partai politik. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut bahwa kebijakan ini bisa menjadi jalan keluar untuk mencegah praktik korupsi di tubuh partai. Di atas kertas, usulan ini memang menarik, bahkan cukup logis bila kita bandingkan dengan sistem kepartaian di Inggris atau Jepang. Di sana, negara memberi pembiayaan yang ketat, terkontrol, dan cukup untuk memastikan partai tidak bergantung sepenuhnya pada oligarki pemilik modal.
Namun, jika kita tarik lebih dalam, persoalan utama partai politik di Indonesia bukan semata-mata soal sumber dana. Persoalan mendasarnya justru ada pada identitas ideologis partai itu sendiri. Hari ini, kita menyaksikan bagaimana partai-partai tidak lagi dibangun atas dasar ideologi atau keterwakilan kelompok sosial tertentu, melainkan berkembang menjadi partai kartel—yang lebih sibuk mempertahankan kekuasaan ketimbang memperjuangkan kepentingan publik.
Lahirnya Partai Kartel dan Oligarki
Jika kita lihat ke belakang, pada era 1950-an, partai politik di Indonesia sangat kental dengan ideologi. Masing-masing memiliki akar sosial yang jelas: ada yang mewakili buruh, petani, santri, nasionalis, hingga kelompok etnik tertentu. Ini sejalan dengan teori Social Cleavages yang dikemukakan Lipset dan Rokkan (1967), di mana partai-partai terbentuk sebagai representasi konflik sosial yang nyata dalam masyarakat: antara agama dan negara, buruh dan pemilik modal, desa dan kota, pusat dan pinggiran.
Namun, semua berubah ketika rezim Orde Baru mulai mengonsolidasi kekuasaan. Tiga partai besar dijadikan satu poros: nasionalis (Golkar), Islam (PPP), dan nasional-religius (PDI). Semua diwajibkan tunduk pada satu ideologi tunggal: Pancasila. Kepartaian dikosongkan dari perdebatan ideologis. Dan saat reformasi datang, kebebasan memang membuka ruang bagi partai-partai baru, tapi semangat ideologi itu sudah kehilangan akarnya.
Dalam tulisan ilmiah Dan Slater (2004) serta Thomas Pepinsky, disebut bahwa Indonesia pasca-Orde Baru mengalami kemunculan partai-partai kartel—partai yang tidak lagi mengandalkan loyalitas basis massa, melainkan kolusi antar elite politik. Mereka bukan alat perjuangan rakyat, tapi kendaraan kekuasaan.
Fenomena menguatnya partai kartel di Indonesia tidak terjadi begitu saja. Salah satu penyebab utamanya adalah ketergantungan partai pada elite donor dan proyek negara alih-alih iuran anggota. Di saat yang sama, proses kaderisasi berjalan lemah dan bersifat transaksional, sementara ideologi partai kian kabur atau bahkan nyaris hilang—yang terpenting hanyalah kemenangan dalam pemilu.
Kondisi ini diperkuat oleh analisis Richard Katz dan Peter Mair (1995), yang menggambarkan partai kartel sebagai partai yang tidak memiliki basis massa riil, bergantung pada dana negara dan elite, cenderung menghindari kompetisi ideologis, serta fokus pada koalisi dan kelangsungan kekuasaan, bukan representasi rakyat.
Banyak pengamat menyebut, partai-partai di Indonesia hari ini lebih menyerupai perusahaan politik. Mereka dibentuk cepat, dikelola dengan logika pasar, dan diarahkan untuk memenangkan suara melalui pencitraan, bukan perjuangan kelas atau nilai.
Mengembalikan Ideologi ke Tengah Panggung
Lantas, apa yang bisa dilakukan?
Pertama, negara memang perlu mengatur pembiayaan partai politik, tapi dengan syarat ideologis dan transparansi keuangan yang ketat. Pembiayaan tanpa ideologi hanya memperkuat kartelisasi.
Kedua, masyarakat sipil harus kembali menuntut partai mewakili cleavage sosial yang riil: kelas pekerja, petani, minoritas, dan kelompok marjinal lain yang kini tak lagi terdengar dalam arena politik.
Ketiga, partai harus kembali berakar pada ide-ide besar dan keberpihakan, bukan sekadar kendaraan politik lima tahunan.
Di era ketika semua bisa dibeli, mungkin ideologi adalah satu-satunya hal yang tidak bisa ditukar dengan uang. Partai politik, jika ingin menjadi alat perjuangan rakyat, harus kembali membumi. Dan akar dari itu adalah: ideologi yang lahir dari kebutuhan sosial nyata.
Tanpa itu, partai akan tetap menjadi elitisme yang dikemas dalam slogan rakyat. Dan rakyat, sekali lagi, hanya jadi penonton demokrasi yang kehilangan makna.
*Magister Politik dan Pemerintahan UGM