Readtimes.id– Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) menerbitkan aturan baru tentang pencairan dana Jaminan Hari Tua (JHT). Kini dana JHT baru bisa dicairkan ketika peserta BPJS Ketenagakerjaan (BP Jamsostek) memasuki masa pensiun usia 56 tahun. Kebijakan ini pun menuai berbagai kritikan.
Kebijakan baru tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua. Aturan itu diteken Menaker Ida Fauziyah pada 2 Februari 2022. Adapun ini mulai berlaku setelah tiga bulan, terhitung sejak tanggal diundangkan, yakni 2 Mei 2022.
Dalam Pasal 2 Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 disebutkan bahwa dana JHT dibayarkan kepada peserta jika mencapai usia pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia.
Kemudian, pada Pasal 3 dikatakan bahwa manfaat JHT bagi peserta yang mencapai usia pensiun sebagaimana dimaksud Pasal 2 huruf a diberikan kepada peserta pada saat mencapai usia 56 (lima puluh enam) tahun.
Kemenaker mengembalikan fungsi dari JHT, yakni sebagai dana yang dipersiapkan agar pekerja di masa tuanya memiliki harta sebagai biaya hidup saat sudah tidak produktif lagi.
Oleh karena itu, uang JHT sudah seharusnya diterima oleh buruh di usia pensiun, cacat total, atau meninggal dunia. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN).
Hal itu setelah mempertimbangkan banyaknya program jaminan sosial diluncurkan pemerintah untuk para pekerja dalam menghadapi berbagai risiko, baik saat bekerja maupun saat sudah tidak bekerja. Seperti kecelakaan, sakit, meninggal dunia, PHK, hingga situasi usia yang sudah tidak produktif.
BPJS Ketenagakerjaan sendiri mengatakan bahwa aturan ini diterbitkan karena telah ada Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) sebagai produk UU Cipta Kerja yang cukup untuk mengganti program JHT yang sebelumnya bisa diklaim satu bulan setelah pekerja kehilangan pekerjaannya. Cara ini mengembalikan filosofi JHT untuk membantu para pekerja di hari tua ketika sudah tidak bekerja.
Melihat hal tersebut, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Nailul Huda, menganggap kebijakan tersebut tidak tepat apalagi di tengah kesulitan ekonomi akibat pandemi saat ini. Jika memang ingin memberikan jaminan di masa pensiun dan hari tua, Huda menilai sudah ada Jaminan Pensiun sehingga pemberian JHT harusnya bisa lebih luwes kepada para pekerja.
Huda juga menilai, realita yang terjadi di lapangan adalah banyak masyarakat yang terkena Pemutusan Hak Kerja (PHK) atau bahkan dipaksa mengundurkan diri mengandalkan JHT sebagai salah satu sumber modal.
Baca Juga : Mengenal Skema Jaminan Sosial untuk Korban PHK
Jika JHT baru bisa diklaim ketika umur 56 tahun, lantas para pekerja kekurangan modal jika ingin membuka usaha. Meski ada JKP yang dianggap mampu menggantikan JHT, namun pelaksanaan JKP dinilai belum juga terstruktur dengan baik dan tidak semua pekerja bisa mendapat JKP.
“JKP bagaimana di lapangan? Apakah sudah beres, enggak. Masih amburadul. Kemudian yang dipaksa mengundurkan diri itu gak dapat JKP. Sedangkan alasan 55 persen karyawan klaim JHT adalah mengundurkan diri. Jadi JHT ini seolah ingin menyelamatkan ‘hari tua’ namun membiarkan ‘hari muda’ para pekerja,” ungkap Huda.
Pemerintah sendiri berencana akan meluncurkan program terbaru JKP pada 22 Februari tahun ini. JKP ini merupakan program pelengkap yang ada di BPJS Ketenagakerjaan.
Kemudian Huda juga mengatakan bahwa usia pensiun diatur dalam peraturan yang akan dievaluasi setiap beberapa tahun sekali. Jika misalnya usia pensiun diubah menjadi 60 tahun, akhirnya akan semakin lama pekerja mendapatkan hak mereka.
Pada kasus karyawan mengundurkan diri, tambah Huda, memang ada uang pesangon satu bulan tetapi jarang dibayarkan. Selain itu, pegawai kontrak abadi akan semakin terhimpit karena bisa diperpanjang berkali-kali merujuk pada UU Ciptaker menambah frekuensi perpanjangan.
“Jadi keberpihakan pemerintah saat ini patut dipertanyakan. Dengan UU Ciptaker karyawan kontrak tidak diberikan jaminan keberlangsungan pekerjaan, dengan Permenaker baru tidak diberikan jaminan ketika mengundurkan diri,” jelas Huda.
Huda mengatakan paling baik program JHT diganti dengan Jaminan Investasi Pekerja karena sifatnya investasi dan bisa diambil kapan pun, tidak menunggu harus tua.
Bisakah Klaim JHT Sebelum berusia 56 Tahun?
Meskipun tujuannya untuk perlindungan di hari tua, atau meninggal dunia, atau cacat total tetap, namun UU SJSN memberikan peluang bahwa dalam jangka waktu tertentu, bagi peserta yang membutuhkan, dapat mengajukan klaim sebagian dari manfaat JHT.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015, klaim terhadap sebagian manfaat JHT tersebut dapat dilakukan apabila peserta telah mengikuti program JHT paling sedikit 10 tahun.
Adapun besaran sebagian manfaatnya yang dapat diambil yaitu 30 persen dari manfaat JHT untuk pemilikan rumah, atau 10 persen dari manfaat JHT untuk keperluan lainnya dalam rangka persiapan masa pensiun.
Skema ini untuk memberikan pelindungan agar saat hari tuanya nanti pekerja masih mempunyai dana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Jadi kalau diambil semuanya dalam waktu tertentu, maka tujuan dari perlindungan tersebut tidak akan tercapai.
Bagi peserta meninggal dunia sebelum mencapai usia 56 tahun, menurut Pasal 8 Permenaker, dana JHT bagi peserta yang meninggal dunia diberikan kepada ahli waris peserta. Ahli waris yang dimaksud meliputi janda, duda, atau anak.
Apabila tidak ada janda, duda, atau anak, maka manfaat JHT diberikan sesuai urutan sebagai berikut:
- keturunan sedarah peserta menurut garis lurus
- ke atas dan ke bawah sampai derajat kedua;
- saudara kandung;
- mertua; dan
- pihak yang ditunjuk dalam wasiatnya oleh peserta.
Kemudian, jika pihak yang ditunjuk dalam wasiat peserta tidak ada, dana JHT dikembalikan ke Balai Harta Peninggalan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Editor: Ramdha
1 Komentar