RT - readtimes.id

Korupsi Barangkali Memang adalah ‘Budaya’ Kita

Judul : Korupsi
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : HASTA MITRA
Tahun : 2002
Tebal : v + 164 halaman

Novel “Korupsi” adalah karya ringkas Pramoedya Ananta Toer, pengarang besar Indonesia yang mangkat pada 2006 silam. Karya terbilang klasik ini ditulis pada 1953 semasa Pram tinggal di Belanda. Barangkali sebagian dari kita akan tersentak membaca kenyataan dalam novel ini: rupanya persoalan korupsi hari ini seperti penyelewengan dana oleh pejabat sudah ada setidaknya sejak zaman kemerdekaan.

Namun uniknya Pram mencoba meneropongnya dari sudut pelakunya sendiri. Sehingga kita akan membaca sejarah perubahan mental individu di hadapan sistem politik dan ekonomi. Pram seakan-akan hendak mengatakan, di hadapan sistem yang korup, orang baik sebaik malaikat sekalipun akan tergoda untuk ikut menjadi korup.

Jika tak percaya, ikutilah kisah tokoh utama novel ini yang bernama Bakir, seorang kepala kantor pemerintahan. Bakir digambarkan sebagai lelaki yang sangat jujur, dan malah isterinya pun tak kalah jujurnya dan senantiasa tak pernah mendesak si Bakir atau suaminya memuaskannya dengan materi. Atau meminjam isitlah masa sekarang, isteri si Bakir tidaklah matre.


Namun lamat-lamat Bakir pun berubah seiring waktu. Ia saksikan teman-temannya bahkan anak buahnya yang senang menunjukkan kekayaan, yang rupanya hasil dari merasuah (mengorupsi) kekayaan negara. Bakir pun mulai nampak goyah. Kejujurannya diuji. Dia mulai mengikuti apa yang oleh temannya dikatakan…”pakai cara tahun sekarang dalam mencari uang.” (hlm 43).

Teman-teman Bakir mengatakan, lalu lintas semakin maju. Artinya, harus ada kendaraan untuk dipakai sekaligus dipamerkan. Lalu akan keinginan untuk membeli rumah. Lalu mulai ada anak-anak yang membutuhkan pendidikan yang layak. Ya, Pram mulai memperkenalkan tokoh kita ini pada alasan samar dan ‘masuk akal’ untuk ikut melakukan tindakan korupsi.

Hari demi hari, si Bakir mulai berani melakukan penyelewenangan uang kantornya. Ia mulai berani menjual barang-barang yang notabene milik kantornya sendiri. Bakir yang awalnya datang ke kantor dengan pakaian sederhana dan Sepatu tan polesan semir, sekarang mulai menuntut isterinya untuk membelinya dasi dan semir Sepatu. Isterinya melakukan keinginan Bakir dengan terpaksa.

Namun, nanti akan ada masanya isteri Bakir mulai tidak tahan dan menasihati suaminya. Namun, bukannya Bakir menyimak dan merefleksikan kata-kata isterinya. Bakir justru semakin menampakkan sikap sombong. Ia mengaku tidak takut pada polisi, tidak takut kepada pengadilan, pada penjara, mati, sakit, dan sebagainya. Suatu kali isterinya berkata begini, “Ngeri aku membayangkan. Engkau pegawai tinggi, engkau mempunyai kekuasaan, Engkau sebenarnya bisa berbuat itu. Ngeri aku membayangkan namamu dimuat di surat-surat kabar sebagai koruptor.” (hlm 38).

Mental bakir semakin rusak. Kejujurannya raib entah di mana. Moralnya pun ikut rusak. Ia mulai tidak betah dan kesal pada anak-anak dan istrinya. Lalu ia pun berpaling pada gadis muda cantik rupawan bernama Sutijah.

Lalu tokoh lain lagi bernama Sirad yang merupakan sekretaris pribadi Bakir akan mengakhiri petualangan jahatnya. Sirad, seorang anak muda yang juga calon doktoral, digambarkan sebagai sosoak muda terpelajar. Pada bagian akhir novel, Siradlah yang membuat Bakir berakhir di penjara untuk mempertangungjawabkan perbuatannya. Sirad diam-diam mencatat semua prilaku ganjil dan jahat atasannya sendiri, yakni si Bakir.

Alur novel ini sederhana dan mungkin terkesan konvensional, yang barangkali nyaris menyerupai alur sinetron di televisi. Namun demikian, istimewanya adalah Pram jelas merekam semangat di masa-masa awal kemerdekaan. Selain itu, mengambil sudut pandang orang pertama yakni si koruptor itu sendiri memungkinkan kita memahami mengapa orang baik bisa melakukan perbuatan korup. Sehingga kita punya semacam gambaran dan bahan analisa, mengapa korupsi terus merajalela dan tak mati-mati hingga sekarang ini.

Kita mungkin memiliki bayangan agung tentang masa ini: semua orang berlomba-lomba menjadikan negara Indonesia yang baru merdeka menjadi negara yang terhormat. Namun jauh panggang dari api: rupanya pejabat yang menilap uang negara telah lahir sejak masa ini.

Membaca novel “Korupsi” Pram ini akan membuat kita merefleksikan kondisi sistem saat ini yang kian kompleks, yang mana tidak sesederhana kisah si Bakir—dari hati malaikat menjadi orang jahat—namun semakin runyam di mana koruptor sendiri tetap mampu bersikap bak malaikat dan seolah-olah tidak pernah berbuat jahat, tetap tersenyum di hadapan kamera, dan sialnya disambut bak pahlawan ketika bebas dari penjara. Ya, dari novel ini kita perlu bertanya: barangkali korupsi memang adalah ‘budaya’ kita.

Dedy Ahmad Hermansyah

39 Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: