Readtimes.id– Bahan bakar fosil seperti batu bara merupakan salah satu sumber energi utama yang menyokong keberlangsungan hidup manusia. Meski demikian, batu bara bukanlah energi yang akan terus ada. Ia adalah energi tidak terbarukan dan punya dampak buruk bagi lingkungan.
Saat ini pun Indonesia tengah mengalami krisis batu bara hingga pemerintah mengeluarkan larangan ekspor berlaku sejak 1 januari 2022. Meski hanya bertahan hingga 10 Januari kemarin akibat protes dari berbagai negara.
Jika suatu saat batu bara benar benar habis, kita perlu menggunakan energi alternatif lain. Apa saja energi yang dapat menggantikan batu bara?
Batu bara adalah energi tak terbarukan yang terbentuk dari makhluk hidup yang mati dan terkubur jutaan tahun lalu. Sumber energi ini langsung bisa dibakar sebagai penghangat ruangan atau digunakan untuk pembangkit listrik.
Listrik adalah salah satu kebutuhan primer masyarakat, saat terjadi pemadaman, akan menimbulkan kekacauan gerak roda perekonomian dan kekacauan sosial pastinya.
Baca Juga : Ancaman Listrik Padam, Ekspor Batu Bara Dilarang Sementara
Semakin meningkatnya pertumbuhan penduduk di dunia, penggunaan energi juga meningkat dalam jumlah semakin banyak. Dengan begitu, energi ini akan terus berkurang dan terbatas.
Jika sampai habis, maka sudah dapat dipastikan aktivitas manusia pun akan terganggu. Ini yang menjadi alasan, mengapa saat ini setiap negara mulai mengambangkan teknologi baru untuk mencari sumber energi lain pengganti energi konvensional.
Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, mengatakan skenario terburuk ketika terjadi krisis batu bara adalah pemadaman bergilir, meski ini menjadi opsi yang tidak populis. Pun jika terjadi, pemerintah pasti akan mencari alternatif energi lain.
“Alternatif energi lain meskipun akan lebih mahal seperti gas atau membeli batu bara dengan harga yang lebih mahal juga pasti pemerintah cari jalan keluarnya,” jelas Mamit.
Kelangkaan batu bara hampir terjadi setiap tahun dengan jumlah yang berbeda-beda. Pada 2040, pemerintah memang telah menargetkan untuk mulai menyetop Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang sumber energinya berbasis batu bara.
Mamit menjelaskan, energi yang paling potensial pengganti batu bara sebenarnya cukup banyak tersedia di Tanah Air. Seperti matahari yang bisa dioptimalisasikan, biomassa, panas bumi sebagai cadangan energi terbesar kedua di bumi, tenaga angin, kemudian Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).
“Panas matahari, biomassa, panas bumi, kincir angin dan yang paling bagus karena zero emission dan punya kelebihan cukup banyak, tenaga air. Sumber daya alam kita cukup melimpah,” ungkapnya.
Mamit mengatakan, untuk menuju transisi energi yang lebih bersih lagi, pemanfaatan sumber daya alam yang melimpah itu tidak bisa digunakan secara maksimal karena sumber daya manusia, dana dan teknologi yang dimiliki Indonesia masih sangat terbatas.
“Namun, untuk sampai pada tahap itu, Indonesia butuh investasi cukup besar, jika mengandalkan APBN tidak cukup dan butuh waktu lama. Kita juga butuh bantuan dari luar negeri karena kita sudah komitmen juga dengan berbagai negara untuk mengurangi penggunaan energi fosil,” jelasnya.
Saatnya Transisi Energi
Sejalan dengan hal tersebut, peneliti di Pusat Penelitian Geoteknologi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Anggoro Tri Mursito mengungkapkan, energi alternatif pengganti energi fosil ini memang terbilang melimpah. Namun dari segi harga, ia tidak menampik harga listrik yang dijual energi alternatif tak semurah energi yang peroleh dari konversi bahan baku fosil.
Meski tarif listrik dari energi alternatif tak mampu bersaing dengan energi fosil, Anggoro memprediksi harga itu bakal stabil, lantaran tak terpengaruh harga bahan baku global, seperti halnya batu bara dan minyak.
Anggoro pun menilai Indonesia harus segera memulai transisi penggunaan energi baru terbarukan (EBT).
“Skenario pengganti batu bara, mau tidak mau peralihan itu dilakukan dan dioptimalkan dari sekarang. Katakanlah 2030 atau 2040 harus setop total misalnya. Ya dari sekarang segera, 2040 tuh sebentar lagi,” tuturnya.
Pada November 2021 lalu, Indonesia dan 22 negara lainnya berkomitmen menghentikan penggunaan pembangkit listrik tenaga batu bara secara bertahap dan memulai transisi ke energi ramah lingkungan, di KTT COP26, Glasgow.
Ketentuan ini dilakukan untuk membatasi kenaikan suhu global tak lebih dari 1,5 derajat celsius sehingga dunia dapat mencapai emisi karbon nol bersih pada 2050.
Namun, keberatan dari sejumlah negara membuat kesepakatan penghentian tidak jadi dilakukan. Tapi beralih menjadi pengurangan penggunaan batu bara.
1 Komentar