Readtimes.id– “ Bapak Presiden tidak berkenan bila kami (polisi) responsif terhadap hal-hal seperti itu”.
Berikut adalah tanggapan Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri, Komisaris Jenderal Agus Andrianto merespon sejumlah informasi terkait mural di berbagai daerah yang menjadi konsentrasi aparat kepolisian dalam sepekan ini.
Tidak berhenti disitu saja, bahkan ia meminta agar seluruh jajaran kepolisian memperhatikan himbauan tersebut di mana ini nampak bertolak belakang dengan pernyataan “orang-orang istana” yang menilai bahwa kritikan terhadap Jokowi melalui sejumlah mural atau grafiti itu perlu ditindak karena menghina lambang negara juga mengganggu ketertiban umum.
Lagi dan lagi perbedaan respon Presiden dan jajarannya terjadi kembali dalam menyikapi sebuah isu yang membuat publik heboh.
Sebelumnya di awal tahun, tepatnya pertengahan April ada isu reshuffle menteri yang ditengarai oleh pernyataan Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Ali Mochtar Ngabalin. Namun hingga isu tersebut menyedot perhatian publik dan headline di berbagai media isu reshuffle itu tidak kunjung terbukti bahkan dibantah sendiri oleh Jubir Istana Fadjroel Rachman yang mengaku saat itu belum menerima arahan dari Presiden soal reshuffle.
Selanjutnya perbedaan pandang juga terjadi dalam kasus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang mengakibatkan 75 pegawai KPK dipecat, dimana dalam kasus ini sebelumnya ada kepala BKN Bima Haria Wibisana yang mengatakan bahwa hasil TWK tersebut telah sesuai dengan instruksi Presiden Jokowi.
Namun dalam sebuah konferensi pers virtual yang digelar Istana bulan mei lalu, Jokowi justru menyebutkan bahwa hasil TWK yang menjadi prasyarat pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN tidak boleh sama sekali merugikan pegawai KPK.
Pakar komunikasi Universitas Indonesia Timur, Zulkarnain Hamson, memandang hal tersebut merupakan bentuk tidak sempurnanya para jajaran pembantu Presiden dalam menerjemahkan sikap dan pola-pola komunikasi Presiden Jokowi.
Menurutnya, dari perbedaan informasi serta respon para pendamping atau pembantu Presiden di depan publik dalam melempar wacana maupun merespon sebuah isu, justru bertolak belakang dengan gaya komunikasi asli Presiden yang dipandang lebih sederhana, terbuka dan tidak kaku.
“Tanpa disadari pernyataan-pernyataan para jajarannya yang bertolak belakang dan cenderung emosional itulah yang justru membawa Jokowi ke arah konflik,” terangnya.
Untuk itu penting menurutnya menempatkan orang-orang yang memahami betul pola atau gaya komunikasi Presiden, selain untuk tidak menimbulkan kontroversi di tengah publik, juga untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap Presiden.
Karena, seperti yang diketahui dalam survei terakhir saat pandemi, tren kepercayaan publik terhadap Jokowi terus menurun dalam setahun terakhir. Data LSI yang dirilis per Juli tahun ini saja menunjukkan hanya 43 persen publik yang percaya terhadap Presiden sementara 22,6 persennya tidak percaya sama sekali, turunnya sekitar 13,5 dari jumlah semula yang mencapai 56,5 persen.
1 Komentar