Readtimes.id – Program Kartu Prakerja digadang-gadang menyelamatkan pekerja yang dipecat selama pandemi covid-19. Angka Kemenaker menyebut sedikitnya 2.8 juta pekerja terdampak krisis akibat pamdemi corona. Angka itu belum termasuk lulusan baru yang gagal mendapatkan kerja.
Sejak awal diluncurkan program kartu prakerja sudah penuh tanda tanya. Bahkan tak sedikit yang menuding program ini hanya ajang pemerintah bagi-bagi kontrak pelatihan. Betapa tidak, banyak konten pelatihan dalam program ini sebenarnya bisa diunduh gratis di kanal YouTube.
Nilai 1 juta rupiah yang dipotong untuk pelatihan online dinilai terlalu besar dan hanya memperkaya star up e-learning. Penerima bantuan hanya menerima 2,4 juta rupiah tunai yang dibayarkan selama 4 bulan.
Besarnya anggaran ini dinilai tidak sebanding dengan kualitas pelatihan. “Masalahnya banyak lembaga individu yang memberi kuliah, pelatihan, gratis. Tinggal cari di Youtube pelatihan gratis. Dosen juga ngasih kuliah gratis,” ujar Tauhid Ahmad, Direktur Eksekutif Institute Development of Economic and Finance (Indef), dilansir Kompas April lalu.
Belum lagi penunjukan 8 start up yang menjadi platform pelatihan program ini disebut melangkahi prosedur sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa.
Suka atau tidak, Program Kartu Prakerja, yang bermutasi jadi program semi bansos selama pandemi, telah berjalan di tahun 2020. Pemerintah akan melanjutkan lagi program ini di tahun 2021. Alokasi anggarannya dipangkas menjadi 10 trilliun rupiah, dengan asumsi pandemi telah mereda pasca proses vaksinasi.
“Tentunya yang tahun ini kita selenggarakan dengan dana Rp20 triliun dan tahun depan kita akan kembali ke dana Rp10 triliun karena program bantuan pemerintah disesuaikan dengan situasi dengan harapannya pandemi ini akan turun,” ujar Airlangga Hartarto kepada wartawan, Jakarta, Selasa (15/12/2020).
Jadi, efektifkah program Kartu Prakerja?
Pengamat ekonomi Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (UINAM), Andi Faisal Anwar, menilai sulit sekali mengukur efektifitas program ini.
“Efektifitasnya tidak begitu nampak. Amat susah mengukur keberhasilan kartu pra kerja ini sebab basis datanya lemah, terkait dengan target penerima bantuan ini. Termasuk outcome dari program ini, belum jelas. Apalagi memasuki masa pandemi ini, jumlah pengangguran justru meningkat tajam,” katanya, kepada Read Times, Senin (4/1/2021).
Andi Faisal menyarankan program kartu prakerja tidak dilanjutkan lagi di tahun 2021. Jikapun harus dilanjutkan, menurutnya fokus program harus diubah dalam bentuk bantuan sosial. Dia beranggapan bantuan dalam bentuk langsung tunai jauh lebih dibutuhkan oleh masyarakat untuk menopang daya beli.
“Program yang outputnya tidak jelas, selayaknya tidak dilanjutkan lagi. Akan lebih baik, jika anggaran ini di refocusing ke bantuan sosial, yang saat ini benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat. Misi dari kartu pra kerja adalah peningkatan produktifitas kerja, sementara saat ini yang dipikirkan oleh masyarakat adalah bagaimana mereka bisa bertahan hidup. Itu saja,” jelasnya.
Staf pengajar di jurusan Ilmu Ekonomi itu menambahkan program kartu pra kerja bisa saja efektif pada kondisi normal. Namun, tidak untuk saat pandemi seperti ini.
“Akan tetapi, program ini nampaknya akan tetap dijalankan krn program ini adalah jualan Jokowi dimasa kampanye politik kemarin. Jika, program ini pun dipaksakan untuk lanjut, sebaiknya basis data dan evaluasi outcome nya harus benar-benar valid, untuk perencanaan penganggaran yang lebih evidence based dan tepat sasaran,” tutupnya.
Berbeda, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah, menilai program kartu prakerja cukup efektif, meskipun tak mampu menyelesaikan persoalan pengangguran dan masalah ekonomi nasional. Setidaknya program ini membantu penerima bantuan, baik dari segi penambahan keterampilan maupun dari bantuan langsung tunai yang mereka terima dari program ini.
“Hasil survei BPS sekitar 80 persen peserta bisa meningkatkan keterampilannya, saya kira berarti efektif,” katanya dalam sebuah wawancara dengan Kumparan.
Dia menambahkan, survei evaluasi yang dilakukan PMO Kartu Prakerja menyatakan 84 persen dari peserta Kartu Prakerja itu belum pernah mengikuti pelatihan, artinya program pelatihan di luar Kartu Prakerja itu tidak efektif.
“Justru menurut saya, program-program pelatihan di luar Kartu Prakerja itulah yang seharusnya dievaluasi,” sambungnya.
Sebagai pengingat, per 7 April 2020, tercatat sebanyak 39.977 perusahaan di sektor formal dan 34.453 perusahaan di sektor informal terpaksa gulung tikar di masa pandemi Covid-19. Perusahaan terpaksa melakukan efisiensi besar-besaran dengan mengurangi jumlah karyawan. Periode itu adalah masa-masa awal pandemi covid-19 menunjukkan efeknya di sektor ekonomi.
1 Komentar