Judul : Nyanyi Sunyi Seorang Bisu 1 & 2
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Hasta Mitra
Cetakan : September 2000
Peristiwa berdarah G30S 1965 terus menyisakan misteri dan kontroversi hingga saat ini. Saban kali kita berada di ambang September, perdebatan tentang dalang peristiwa tersebut terus saja bergulir tanpa titik temu. Namun, di luar berbagai kontroversi tersebut, yang tak bisa kita pungkiri adalah: jutaan anak bangsa mati, menjadi eksil, atau dibuang ke Pulau Buru.
Ini memang beban sejarah untuk kita yang entah sampai kapan akan menemui titik terang. Tapi tentu saja kita tak boleh lupa pada para korban—apapun definisi korban yang kita pahami. Mereka yang kemudian dipenjarakan atau dibunuh mestilah kita kenang dan kita beri ruang dalam ingatan kita.
Untuk itu, pada ulasan (panjang) buku kali ini saya ingin mengajak para pembaca menyelami kisah para tahanan politik (tapol) yang berkaitan dengan G30S di Pulau Buru, sejak 1969—1979. Kali ini kita akan mengenangnya melalui catatan seorang sastrawan besar kita, Pramoedya Ananta Toer, dalam dua seri buku solilokuinya: “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu”. Buku ini dia tulis semasa dia ditahan Bersama tapol lain di Pulau Buru.
Mari kita dengar Si ‘Bisu’ kita bernyanyi
Dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Pram mencatat dengan detail perubahan-perubahan di Pulau Buru sejak kedatangan para tapol pertama kali pada 1969. Ia mencatat sumbangsih para tapol dalam membangun jalan, persawahan, membuka hutan dan sebagainya. Ia catat perlakuan-perlakuan tidak adil yang diterima tapol dari para tentara-penjaga. Pram, dengan begitu kukuh, mencatat semua itu di bawah ancaman kertas-kertasnya disita dan dirampas.
Akan tetapi, catatan Pram tak hanya menangkap dan merangkum peristiwa-peristiwa permukaan dan umum saja. Ia juga mengudar kisah-kisah perubahan pada fisik dan mental tapol akibat perlakuan sewenang-wenang para tentara. Lebih jauh, ia menceritakan dengan terang sejauh mana perlakuan itu mempengaruhi kesadaran dan rasa solidaritas yang tapol miliki sebelum tinggal di dalam daerah pengasingan.
Dan hasilnya dapat membuat kita menjadi miris dan prihatin. Alam gersang Pulau Buru sama kejamnya dengan para tentara yang menjaganya—bahkan mungkin lebih kejam tentara itu. Para tapol harus selalu waspada dengan penduduk yang masih primitif dan ‘tidak berperadaban’. Penduduk asli yang merasa terusik dengan keberadaan ‘tamu baru’ mereka, ada yang mulai menyusun rencana untuk mengusir ‘tamu baru’ itu, bahkan bila satu-satunya cara dengan membunuhnya.
Sejak itu, nyawa para tapol jatuh satu-satu ke tangan para penduduk asli. Ada yang ditombak selagi mancing di sungai (‘wai’, bahasa asli setempat), ada yang dipenggal kepalanya lalu jasadnya dibuang ke sungai, dan sebagainya. Mereka dikubur tanpa upacara besar, tanpa pemberitahuan kepada pihak keluarga.
Bukan hanya penduduk asli yang menjadi ancaman nyawa melayang, di bawah kekuasaan para jenderal juga tapol senantiasa mesti hati-hati. Yang tercatat paling hebat adalah di bawah kekuasaan seorang jenderal yang berwatak pembunuh, culas, tanpa kenal ampun. Ia dengan terang-terangan mengambil hasil keringat tapol untuk kesenangannya bermain judi dan perempuan. Ia senang menembak membabi-buta siapa saja tapol yang ia tak senangi.
Para tapol di bawah kondisi tersebut tentu saja tertekan dan merasa terancam. Tak pelak kadang membuat beberapa tapol menjadi kehilangan kewarasan. Tapi ada juga yang perlahan-lahan menyusun rencana melarikan diri sampai melancarkan pemberontakan. Sudah tercatat pada kisaran tahun 70-an ada peristiwa di mana puluhan tapol berhasil melarikan diri dari barak, tapi gagal keluar dari Pulau Buru.
Di kalangan tapol sendiri, tak selamanya dihiasi kisah solidaritas. Ada saja segelintir mereka yang berusaha menjilat kepada kekuasaan yang menindas mereka. Ada yang mengincar posisi-posisi yang akan membebaskan mereka dari kerja keras. Tapi konsekwensinya mereka harus merugikan kawan sendiri. Yang terakhir ini biasanya adalah para tapol sarjana yang tidak biasa kerja badan. Pram biasa menjadi korban para pelapor ini. Pram menulis begini:
“Sudah sejak penahananku di tahun-tahun 1974-1949, tahun 1960-1961, dan 1965-1974, memang dapat kulihat watak umum dari orang yang suka melapor, yakni ogah kerja badani, ingin disegani, ingin enak sendiri dan ingin ditakuti oleh teman-temannya sendiri, dan kalau bisa, mau hidup dari keringat sesamanya tanpa memberikan imbalan prestasi”.
Mereka-mereka yang merugikan teman sendiri ini posisinya disebut dengan tapol-manopol.
Perubahan besar-besaran terhadap diri tapol terjadi sejak lepas tahun 1974. Pada 1974, terjadi peristiwa besar pada November. Peristiwa besar yang meruyak hingga ke pemerintah pusat, lalu menjadi perhatian dunia. Peristiwa itu memposisikan tapol sebagai korban. Beberapa tentara mengamuk dan membunuh banyak sekali tapol. Sejak peristiwa itu, dan atas kritik seluruh dunia, pemerintah mulai meninjau kebijakannya terkait tapol di Pulau Buru.
Kebijakan baru diberlakukan. Tapi sama saja. Bajunya yang berganti, tapi badan sama saja. Tapol tetap dimanfaatkan untuk kesejahteraan para jenderal. Hanya kali ini tapol mulai ikut diberikan kebebasan untuk mengumpulkan ‘kekayaan’. Sejak itu, catat Pram, untuk pertama kali dalam sejarah tapol, mereka mengoleksi jam tangan, barang-barang elektronik dan sebagainya. Pram mencatat:
“Dalam masa ini gaya hidup sederhana mulai ditinggalkan para tapol. Ada yang mengatakan, itu adalah gejala kemerosotan ideologi. Orang berlomba untuk dapat dan menyediakan diri diperas, hanya untuk sekadar mendapatkan kemewahan semu…”
Sampai di sini kita bisa menemukan sesuatu yang paradoks. Pada satu sisi, para tapol berada di bawah sistem penindasan yang sama, berasal dari sejarah pembuangan yang sama. Tapi respon terhadapnya tidak hanya melahirkan kondisi ideal seperti solidaritas, namun juga pengkhianatan dan sikap yang individualistik.
Tapi Pram punya sikap yang jelas: manusia mesti diberi kebebasan yang sejati, dan kemerdekaan dirinya mesti diperjuangkan. Pram berkali-kali mengatakan kepada para pengunjung bahwa tapol harus dibebaskan karena pembuangan mereka tidak berdasarkan hukum dam pengadilan, dan Pulau Buru mesti dibiarkan berpuluh-puluh tahun agar bisa subur—Pulau Buru menurut Pram masih gersang.
Sikap yang jelas itu juga diudarkan Pram dalam surat-surat kepada anak-anaknya. Ia selalu mendongeng tentang pentingnya kebebasan dan kemerdekaan manusia yang sejati. Sistem apapun yang mencoba menyingkirkan manusia berarti sistem itu salah. Maka dari sini kita akan mengerti mengapa Pram begitu membenci wayang. Karena menurutnya, cerita wayang melulu kisah para dewa, melulu tentang peperangan. Sementara petani yang bekerja tak pernah hadir di sana. Malahan, petani dikondisikan untuk membutuhkan para dewa ini, yang selalu membuat kekacauan.
Maka ketika berdongeng tentang revolusi dalam suratnya untuk seorang anaknya, ia begitu menyanjung-nyanjung revolusi Indonesia. Sebaliknya, ketika membuat perbandingan, ia menganggap revolusi industri Eropa belumlah seberapa.
Begitulah pandangan Pram dalam melihat manusia. Begitu pula Pram menuliskan manusia yang disebut tapol tadi. Sejatinya dua buku ini berisi surat-surat untuk keluarganya. Surat-surat yang menyimpan keintiman dan emosi yang begitu kuat. Sulit rasanya untuk tidak bersimpati terhadap apa yang Pram alami, juga sekaligus kita diajak bersimpati pada kemanusiaan itu sendiri.
5 Komentar