Judul : Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan ke-17
Penulis : Adrian B. Lapian
Penerbit : Komunitas Bambu
Tahun : 2017
Tebal : xii+ 142 hlm
Nenek moyangku seorang pelaut
Gemar mengarung luas samudra
Menerjang ombak tiada takut
Menempuh badai sudah biasa
Potongan lagu “Nenek Moyangku” yang diciptakan Ibu Sud ini menemukan kebenarannya dalam buku “Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad Ke-16 dan 17”. Di dalam buku tipis 142 halaman tersebut, Adrian B. Lapian (alm) menyajikan bukti kepada kita betapa nenek moyang kita pengarung lautan yang tangguh, memiliki pengetahuan tentang laut yang mumpuni, menguasai teknologi perkapalan, dan sebagainya.
Adrian B. Lapian, sejarawan sohor dalam bidang maritim—digelari sebagai ‘nakhoda penulisan sejarah maritim Indonesia—memang sangat menguasai apa saja menyangkut dunia maritim Indonesia (bahkan dalam konteks lebih luas, Asia Tenggara). Dia menggunakan sekaligus menguasai sumber yang sangat kaya dan beragam terkait dunia maritim. Dia tahu betul apa yang dia katakana sendiri. Di buku ini sendiri dia merujuk sumber Eropa (Belanda, Perancis, Portugis) dan nusantara (babad dan hikayat).
Dalam historiografi atau penulisan sejarah nasional kita, tema laut memang terpinggirkan. Nah, Adrian B. Lapian bisa dikatakan merupakan eksponen pentingnya dalam membuka jalur penulisan sejarah bertema laut ini. Sejauh ini, sejarah kita masih dikuasai oleh tema daratan dengan beragam isu, mulai isu petani, revolusi, kedaerahan, dll—meskipun itu tetap penting. Namun demikian, ada ruang kosong yang jika tidak ditelusuri bakal mencacatkan pemahaman kita akan jalannya proses terbentuknya karakter nasional kita.
Nah, mari kita ulik hal-hal apa saja yang diudar oleh Adrian B. Lapian dalam buku tipisnya namun penting ini.
Pertama, pelayaran dan perdagangan orang Eropa tidaklah lebih maju dari orang nusantara. Penulis buku ini menunjukkan kepada kita, justru orang-orang Eropa yang tiba di nusantara menggunakan atau memanfaatkan kemampuan navigasi para mualim atau pelaut kita untuk menuntun mereka ke Maluku mencari rempah-rempah, atau ke pulau-pulau lain di nusantara. Fakta ini tercatat dalam log book atau catatan pelayaran orang Eropa sendiri.
Adrian B. Lapian membantah mitos sejarah kolonial bahwa bangsa Eropa-lah yang lebih maju pelayaran dan perdagangannya dibandingkan orang nusantara. Dikesankan atau dicitrakan bahwa sebelum Eropa datang, tidak ada sistem perdagangan maupun pelayaran orang nusantara yang kokoh. Singkatnya: peradaban pelayaran dan perdagangan itu dibawa orang Eropa. Inilah yang dibantah Adrian B. Lapian: bangsa di nusantara jauh sebelum orang Eropa datang telah memiliki sistem pelayaran dan perdagangan yang mumpuni, telah mengembangkan jaringan hubungan maritim yang sangat baik didukung oleh kemajuan teknologi kapal dan kemampuan navigasi yang maju.
Hanya memang, Adrian B. Lapian sendiri mengakui, catatan detail dalam referensi lokal kita tidak tersedia secara memadai untuk membuktikan hal tersebut—mengingat tradisi tulis di nusantara tidaklah semaju di Eropa. Namun demikian, beberapa catatan yang terserak dalam catatan harian orang Eropa cukup menyediakan bukti betapa tradisi pelayaran dan perdagangan orang nusantara sudah sedemikian maju.
Kedua, buku tentang dunia maritim nusantara ini membatasi latar waktunya pada abad ke-16 dan ke-17. Sebagaimana kita tahu, abad yang dimulai pada tahun 1500 hingga 1600an ini merupakan penanda—setidak-tidaknya—dua hal: pertama, munculnya kerajaan-kerajaan Islam seiring meredupnya masa Hindu-Budha. Kedua, abad ke-16 merupakan perjumpaan pertama orang nusantara dengan Eropa sekaligus persaingan yang keras antar orang Eropa sendiri dalam memperebutkan rempah-rempah.
Buku ini padat dan ringkas, padat oleh data-data penting dan menarik tentang abad kejayaan pelayaran nusantara, serta ringkas dalam penjelasannya. Terbagi ke dalam tiga bab saja, yang secara alur berbicara tentang teknologi dan pusat-pusat pelayaran, pola-pola pelayaran dan perdagangan, dan pelabuhan. Dalam elaborasinya, Adrian B. Lapian menyenarai perihal bagaimana sistem pengetahuan orang nusantara terhadap dunia maritim, siapa saja yang terlibat dalam pembuatan kapal, trayek atau jalur pelayaran dan perdagangan, dan bagaimana pelabuhan diorganisir.
Di dalam buku ini, pemaparan detail terkait hal-hal praktis akan sangat bermanfaat untuk kita yang penasaran bagaimana sesungguhnya praktik pelayaran dan perdagangan di tengah orang nusantara. Misalnya, kita akan diperkenalkan pada perbandingan berbagai macam konsep perdagangan pada orang nusantara: apa bedanya sistem comenda dengan aturan tradisional yang ada dalam peraturan Matoa Amanna Gappa Bugis Makassar. Atau bagaimana pajak diberlakukan di Pelabuhan-pelabuhan pusat atau entrepot yang tersebar dari timur hingga barat nusantara. Ini hanya salah satu contoh saja, masih banyak lagi contoh lainnya yang tak kalah menarik dan bermanfaat.
Bagi pembaca yang ingin mengetahui dan memahami masa kejayaan pelayaran dan perdagangan nusantara khususnya pada abad ke-16 dan 17, buku ini sangat direkomendasikan. Agar frase “nenek moyangku orang pelaut” bukan sebatas konsep abstrak kosong tanpa makna. Kita perlu tahu seperti apa nenek moyang kita memahami dan mengelola laut kita yang luas ini.
Angin bertiup layar terkembang
Ombak berdebur di tepi pantai
Pemuda berani bangkit sekarang
Ke laut kita beramai-ramai
Tambahkan Komentar