RT - readtimes.id

Bagaimana Kartini Memandang Tuhan dan Agama

Judul        : Tuhan & Agama dalam Pergulatan Batin Kartini

Penulis        : Th. Sumartana

Penerbit    : gading

Cetakan    : 1 April 2022

Halaman    : xxviii + 133 hlm

Raden Ajeng Kartini, nama yang tentu sudah sangat sohor untuk rakyat Indonesia. Nama yang kita kenang selalu setiap 21 April—titi mangsa kelahirannya pada 1879, menyongsong akhir abad XIX. Kartini, perempuan pribumi yang menulis surat-surat, berisi perenungannya pada banyak hal terkait kondisi bangsanya sendiri. Dia perempuan yang menjadi ikon nasional mengenai emansipasi wanita, yang diberikan gelar nasional pada era Soekarno. Namun sesungguhnya, sejauh apa kita memahami pemikiran dan keresahannya?

Kartini nampaknya dikenal tidak lebih dari kesan sesosok perempuan bersanggul yang menulis buku “Habis Gelap Terbitlah Terang”—dalam Bahasa Belanda: Door Duisternis tot Licht”. Buku ini berisi kumpulan surat-surat Kartini yang ditulis selama kurang lebih empat tahun: 1899—1903. Surat-surat tersebut hasil pengumpulan yang dilakukan sendiri oleh Mr. J.H. Abendanon, salah satu teman korespondensi Kartini, tak lama setelah Kartini meninggal dunia. Abendanon sendiri masa itu merupakan Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda.

Sudah cukup banyak dokumentasi yang mencoba menyelami isi pemikiran Kartini. Salah satunya adalah buku “Panggil Aku Kartini Saja”, yang ditulis oleh sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Tersirat dari judulnya, buku ini mencoba menapis dan membuang mitos-mitos di seputar nama kartini, menempatkan Kartini sebagai manusia biasa. Salah satu poin pokok dalam buku ini adalah: Kartini adalah seorang humanis sejati, yang menempatkan kemaslahatan umat manusia di atas segalanya.

Namun, buku yang mengetengahkan analisa pemikiran religius Kartini—Tuhan dan Agama—tidaklah banyak. “Tuhan & Agama dalam Pergulatan Batin Kartini” adalah salah satu yang sedikit itu. Buku ini ditulis oleh Th. Sumartana, penulis Indonesia asal Jawa Tengah, yang meninggal di Jakarta pada 2003 silam dan dimakamkan di Yogyakarta.

Buku cukup tipis ini awalnya merupakan bagian dari disertasi Th. Sumartana ber judul Mission at the Cross Road di Vrije Universiteit, Amsterdam, Belanda. Diberi kata pengantar oleh Taufik Abdullah, sejarawan kondang Indonesia yang merupakan Ahli Peneliti Utama LIPI. Karya doktoral, kata pengantar oleh sejarawan besar—ini sudah cukup memberi jaminan buku ini kredibel dalam substansi mengenai pembahasan tentang pemikiran Kartini.

Th. Sumartana melalui 10 bab—termasuk prakata dan epilog—dalam buku ini mencoba menyelami samudera pemikiran Kartini yang terhampar dalam surat-suratnya untuk sahabat-sahabat Belanda-nya. Lebih spesifik lagi Th. Sumartana menyaring sari pikir Raden Ayu tersebut dalam hal Tuhan dan Agama. Menurut penulis buku, tidak mudah memberi kesimpulan pada cara Kartini melihat Tuhan dan Agama, karena Kartini tidak menulis satu tulisan tersendiri yang sistematis terkait tema transendental ini. Kata Th. Sumartini, pemikiran Kartini tentang Tuhan dan Agama bertumpang tindih dengan tema lain seperti isu sosial, pendidikan, dan sebagainya.

Namun demikian, mari kita rangkum bagaimana hasil kesimpulan Th. Sumartana dalam menyelami pemikiran Kartini terkait Tuhan dan Agama ini.

Tugas Sejati Agama dan Kritik pada Praktik Beragama

Yang menarik dari Th. Sumartana ini adalah bahwa penulisnya tidak lupa memberikan konteks atau zaman saat Kartini menyatakan pendapatnya sendiri terhadap Tuhan dan Agama. Pertama, Kartini merupakan produk abad XIX, di mana di Indonesia mulai diterapkan kebijakan etis—kebijakan yang mencoba memberikan ruang pada kebebasan dan ‘kemerdekaan’ orang Indonesia. Kartini memang tidak memiliki gelar akademik, namun statusnya sebagai elit istana, dia bisa leluasa mempelajari pemikiran-pemikiran barat.

Kedua, ide tentang nasionalisme belum mengkristal pada masa Kartini lahir. Kartini tidak sempat menyaksikan lahirnya Budi Oetomo pada 1908, organisasi yang digadang-gadang menjadi pelopor organisasi nasionalis. Kartini juga tak sempat melihat munculnya Syarikat Islam, organisasi politik pertama yang membawa napas nasionalisme dengan bernapaskan Agama.

Jadi bisa kita bayangkan Kartini sebagai sosok langka yang berani bersuara mengkritik kondisi sosial dan agama pada masanya, cukup jauh jaraknya sebelum dua organisasi besar tersebut lahir. 

Menurut Kartini, tulis TH. Sumartana, Agama seharusnya bisa menjadi sarana pembebasan manusia terhadap belenggu kebodohan dan penderitaan. Dalam konteks Indonesia masa itu, Kartini melihat praktik beragama masih membawa misi murni agama itu sendiri. Selain itu, banyak orang bertikai atas nama agama, banyak orang mencoba meloloskan nafsunya dengan berlindung dalam tafsir agama yang sempit.

Contoh konkrit atas kesimpulan di atas diberikan Th. Sumartana melalui kasus zending (penyebaran agama Kristen). Kartini pada prinsipnya tidak bermasalah dengan misi ini, asal mempertimbangkan hal-hal etis, misalnya tidak memaksa kelompok masyarakat yang sudah kukuh memeluk Islam untuk masuk Kristen. Kartini justru akan memberikan apresiasi jika saja misi-misi religius serupa itu difokuskan pada misi kemanusiaan, bukan eogisme agama itu sendiri.

Kasus lainnya yang dikritik oleh Kartini adalah masalah poligami. Kartini menganggap praktik poligami masih membawa nama agama, padahal sesungguhnya demi kepentingan sendiri. Praktik poligami selama ini justru menguntungkan laki-laki namun merugikan kaum perempuan. Dalam kasus poligami ini, Kartini tidak lupa merujuk pada keluarganya sendiri di mana ibunya Kartini, Ngasirah, sering mendapatkan ketidakadilan.

Banyak kalangan yang menyebutkan pemahaman Kartini tidak dalam menyangkut agama. Th. Sumartana sendiri mengakui itu. Tapi ingat, ini lagi-lagi perlu menimbang konteks pada masa Kartini hidup. Salah satu yang membela pandangan keagamaan Kartini dalam sejarah Indonesia tak lebih dari seorang Haji Agus Salim, tokoh nasional kita dari kalangan Islam. Haji Agus Salim mengatakan, memang benar Kartini tidak memiliki pengetahuan memadai tentang agama Islam, tapi bukan berarti Kartini membabi buta ketika mengkritik praktik beragama orang Islam. Pada masa itu, masih kata Haji Agus Salim, memang seperti itulah kondisi beragama, seperti ditulis Kartini.

Ada banyak lagi detail atau rinci penjelasan Th. Sumartana tentang pemikiran Kartini tentang Agama dan Tuhan. Namun bisa kita menangkap sari-sari yang disajikan oleh Th. Sumartana sendiri kepada kita. Pertama, Kartini tidak tertarik melihat agama sebagai ajaran abstrak. Namun Kartini membayangkan agama sebagai praktik pembawa perubahan sosial di tengah masyarakat. Karena hal ini Kartini bisa mengkritik praktik beragama kalangan mana saja, tidak terbatas pada satu agama saja.

Kedua, sesungguhnya ‘ideologi’ sejati Kartini adalah humanisme, dan pemikiran tentang Tuhan serta Agama porsinya bukan yang utama. Dia ingin melihat kondisi masyarakatnya semakin maju. Dan untuk itu dia ingin melihat semangat beragama diarahkan ke sana. Ketiga, Kartini jelas-jelas secara terang mengaku dirinya penganut agama yang taat. Malah, di tengah kebijakan pemerintah saat itu yang relatif netral terhadap praktik beragama, Kartini justru memasukkan pelajaran agama dalam sekolah yang dia bangun.

Namun di atas semuanya, Kartini dengan segala ambisinya memang bukan perkara sederhana. Ada perjuangan juga kekalahan di sana. Kita tahu, dia mengkritik praktik poligami yang justru dia terperangkap di dalamnya. Kartini juga menginginkan dirinya bisa menuntut pendidikan ke Belanda namun harus kecewa—tapi dia berhasil mendirikan sekolah sendiri.

Dia meninggal di usai relatif muda—25 tahun. Meninggal setahun setelah melahirkan anaknya pada 17 September 1904. Ya, tepat pada tanggal dituliskan ulasan ini, ulasan buku atas pemikirannya. Kartini, memang perempuan yang perlu kita kenang.  

Dedy Ahmad Hermansyah

Tambahkan Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: