RT - readtimes.id

Belajar Makna Kebebasan dan Kemerdekaan dari Si Beruang Kutub

Judul        : Kenang-kenangan Mengejutkan Si Beruang Kutub

Penulis    : Claudio Orrego Vicuna

Penerbit    : Marjin Kiri

Cetakan    : Maret 2021

Halaman    : x + 68 hlm

Baltazar. Begitulah beruang kutub itu dinamai oleh para pengunjungnya. Melalui masa-masa pengurungan di kebun binatang Chile setelah ditangkap di daerah asalnya yang dingin, Baltazar—atau Si Beruang Kutub—mencoba merenungi kehidupan, khususnya pada makna kebebasan dan kemerdekaan. Dari renungannya itu, kita akan jatuh kagum pada cara pandangnya yang dalam tentang karakter manusia yang penuh kontradiksi: baik-buruk, hitam-putih, dan sebagainya.

Barangkali kita, manusia ini, butuh jarak untuk mengenali diri kita sendiri. Terkadang butuh keterkungkungan untuk bisa memahami kebebasan, butuh kondisi ketertindasan untuk mengenali apa itu kemerdekaan. Baltazar—atau si beruang kutub kita ini—hadir sebagai jarak itu, yang memberi perspektif lebih jernih tentang apa arti menjadi manusia, kenapa manusia bisa saling berbeda satu sama lain, dan bagaimana manusia bisa merebut kebebasan dan kemerdekaan yang hakiki.

Sungguh fabel yang sangat indah. Cerita yang dingin, suara beruang yang hening di tengah keramaian, dan nuansa nyaris gelap pada seluruh halamannya. Namun demikian, kita bisa menangkap ada olok-olok dan humor tidak langsung terhadap diri manusia. Baltazar sungguh beruang yang berhasil menjadi filsuf dengan caranya sendiri.

Kisah tentang si Baltazar alias si beruang kutub ini sungguh sederhana: tentang dia sendiri yang terjaring bersama anjing-anjing laut oleh pemburu dan dimasukkan ke dalam kebun binatang. Kisahnya terentang dalam sepuluh bagian atau bab yang pendek-pendek. Bab-babnya diberi judul mengikuti alur cerita yang maju. Misalnya, “Hari-hari Penuh Ketakutan”, “Hari Penamaan”, “Hari Persahabatan”, “Hari Pembangkangan”, “Hari Nostalgia”, dan lain-lain. Dilihat dari judul-judul tersebut, kita akan menangkap kesan pula bagaimana si beruang kutub memaknai setiap hari dengan perenungan filosofis.

Sepanjang hidupnya di dalam kerangkeng kebun binatang, di situlah dia bertemu manusia-manusia berbagai wajah dan karakter. Dia menganalisa manusia itu, lantas merenungkannya. Perenungannya tidak melulu tentang manusia yang datang ke kebun binatang, namun juga dia menarik momen nostalgik ketika dia masih tinggal di daerah atau dia menyebutnya: kampung halaman. Kita bisa membacanya dalam bagian “Hari Nostalgia”. Dia bernostalgia tentang dunia beruang yang menurutnya punya dunia fisik dan batin alaminya sendiri, juga cerita asmaranya sendiri. Nostalgia ini sendiri menambah pemahamannya sendiri terhadap karakter manusia.

Masih pada bagian “Hari Nostalgia” ini, kita akan bertemu dengan narasi-narasi yang sungguh manis dan menggemaskan. “Ingatan akan cinta pertamaku, misalnya. Sebab beruang juga tahu cara kasmaran….Aku harus mengakui bahwa ini adalah cerita tak terucapkan sebagaimana seharusnya setiap cinta pertama. Jelas bahwa akulah yang diam-diam mabuk kepayang tanpa si dia tahu apa-apa.” Hmmmm…

Narasi-narasi berbeda nuansa akan silih berganti. Selain nuansa manis seperti baru saja dikutip di atas, kita akan menemukan banyak lagi narasi-narasi lain, seperti narasi filosofis. Misalnya, ketika si beruang kutub kita ini mulai tiba pada kesimpulan apa itu kebebasan ataupun kemerdekaan. “Itulah yang menjelaskan mengapa meskipun aku dikerangkeng, aku merasa kebebasanku bertumbuh. Memang masih bolong-bolong dan tak sempurna, tapi setiap hari lebih baik dibanding manusia-manusia di sekelilingku… Aku takkan pernah benar-benar bebas, tapi aku telah menaklukkan dunia sekelilingku dalam benakku. Dan ini sudah tertanam begitu dalam sampai tak ada yang bisa mengambilnya lagi dari diriku.”

Sungguh hasil perenungan yang jembar dan dalam. Inilah yang menjadikan buku super tipis ini justru menyimpan pasokan air yang bisa membanjiri samudera pikiran kita dengan berbagai pemahaman tentang filosofi kebebasan dan kemerdekaan.

Kisah si beruang kutub kita berakhir tragis. Dia mati ditembak di dalam kandangnya sendiri. Dia meninggal tanpa peringatan duka selayaknya. Malahan, isu pemberitaan menyatakan bakal ada tindakan mencari pengganti si beruang kutub kita ini.

Buku ini memang bisa dibaca sekali duduk, tapi alangkah baiknya jika dibaca dengan pelan dan khidmat. Karena setiap kalimatnya penuh binar dan kilau. Jangan baca buku tipis ini dengan terlampau buru-buru. 

Buku ini ditulis oleh Claudio Orrego Vicuna, penulis asal Chile, negara di Amerika Latin yang pernah sohor oleh kudeta berdarah Augusto Pinochet yang didukung oleh Amerika Serikat, menyingkirkan pemerintahan demokratis Salvador Allende. Nah, pada momen kisruh politik inilah si penulis novel ini hidup. Jadi kisah tentang si Baltazar atau si beruang kutub kita ini bisa juga dibaca sebagai perenungan bagaimana hidup dalam masa kediktatoran—di mana manusia dikerangkeng oleh rezim yang zalim.

Dedy Ahmad Hermansyah

1 Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: