
Demokrasi menurut Muhammad Hatta, berarti kedaulatan rakyat, yaitu rakyat yang bebas dan merdeka, yang menjadi raja atas dirinya sendiri dan yang dilawankannya dengan daulat tuanku. Bagi Hatta, substansi demokrasi adalah mass protest atau sikap kritis rakyat terhadap penguasa, musyawarah untuk mencapai mufakat dan tolong menolong. Dua subtansi pertama menjadi dasar untuk mewujudkan demokrasi politik sedangkan substansi yang ketiga menjadi dasar bagi demokrasi ekonomi. Dasar filosofis tersebut mengisyaratkan bahwa sentrum demokrasi adalah rakyat dan demokrasi bukanlah desain yang selesai dirancang sekali lalu abadi dan akan relevan selama-lamanya. Sebagai desain, demokrasi bergerak, mengalir, dan menyesuaikan diri dengan tantangan zaman. Seperti kata José Saramago dalam Blindness, “Semua sistem yang hidup harus menyesuaikan diri, atau mereka akan hancur oleh beratnya sendiri.” Demokrasi yang diwujudkan melalui sistem pemilu, harus terus berevolusi agar tetap relevan dan mampu menjaga hakikat demokrasi: kedaulatan rakyat.
Sistem pemilu proporsional terbuka adalah salah satu bentuk evolusi demokrasi Indonesia, dengan mengembalikan hak memilih kepada rakyat, memberikan rakyat kuasa untuk menentukan siapa yang layak mewakilinya di parlemen. Dalam pilihan sistem Pemilu proporsional, kombinasi antara variabel metode pencalonan, pemberian suara, dan penetapan calon terpilih menghasilkan sistem Pemilu proposional daftar terbuka. Dalam daftar terbuka, calon disusun berdasarkan undian atau abjad, pemilih memilih calon, dan calon terpilih ditetapkan berdasarkan suara terbanyak
Namun, sistem ini juga sarat dengan kritik. Sistem ini dianggap melemahkan partai politik, dituding sebagai penyebab biaya politik yang sangat tinggi dimana politik uang dipandang sebagai cara cepat mendulang dukungan, membuka jalan bagi politik perseorangan, dan mereduksi peran partai sebagai pilar demokrasi. Pandangan ini, meski tidak sepenuhnya keliru, perlu ditelaah dengan lebih jernih. Sebab, esensi demokrasi bukan hanya soal institusi yang kokoh, tetapi juga tentang partisipasi rakyat seluas-luasnya, dan keterlibatan rakyat yang otentik dalam menentukan arah politik. Maraknya politik uang saya kira bisa dikendalikan dengan memperkuat regulasi dan sanksi yang tegas bagi pelaku yang bisa menghasilkan efek jera seperti diskualifikasi dan ancaman pidana yang berat.
Kelebihan sistem proporsional terbuka terletak pada hubungan langsung yang diciptakan antara pemilih dan wakilnya. Pemilih tidak sekadar memilih partai, tetapi dapat menentukan figur yang mereka percaya. Transparansi ini memperkuat pertanggungjawaban politik, memungkinkan rakyat menilai secara langsung kiprah wakil mereka, alih-alih menyerahkannya pada mekanisme internal partai yang sering kali tertutup dari publik.
Penerapan sistem proporsional terbuka memang menghadirkan tantangan bagi partai politik. Dengan pemilih lebih berorientasi pada person, kontrol partai terhadap kader di parlemen melemah. Legislator yang terpilih lebih sering berfokus pada kepentingan elektoral pribadi ketimbang visi kolektif partai. Kebijakan yang seharusnya berbasis agenda politik yang terstruktur sering kali bergeser menjadi kompromi personal yang berorientasi pada konstituen masing-masing.
Meski demikian, masalah ini tidak terletak pada sistem pemilunya, melainkan pada kesiapan partai dalam menghadapi perubahan. Proporsional terbuka tidak secara otomatis melemahkan partai. Sistem ini hanya menuntut partai untuk bertransformasi. Sistem ini tidak menghilangkan peran partai, tetapi memaksanya beradaptasi, memperkuat kaderisasi, meningkatkan disiplin fraksi, serta memastikan bahwa setiap individu yang maju sebagai calon legislatif membawa visi dan agenda partai, bukan sekadar kepentingan elektoral pribadi.
Transformasi Partai
Kaderisasi yang kuat adalah kunci agar sistem proporsional terbuka tetap dapat berjalan tanpa mengorbankan kelembagaan partai. Partai harus memastikan bahwa setiap calon yang mereka ajukan memiliki kompetensi, integritas, dan kesesuaian dengan visi organisasi. Dengan mekanisme seleksi yang ketat, pemilih tetap memiliki kebebasan memilih, tetapi dalam kerangka kader yang telah melewati proses politik yang memastikan keberpihakannya pada ideologi partai.
Tidak hanya itu, disiplin fraksi di parlemen harus ditegakkan lebih kuat. Dalam sistem ini, figur yang terpilih memiliki independensi lebih besar, tetapi mereka tetap harus bekerja dalam koridor kebijakan partai. Jika kepemimpinan partai mampu membangun mekanisme kontrol yang efektif, maka kendali terhadap agenda legislatif dapat tetap terjaga, tanpa perlu mencabut hak pemilih untuk menentukan wakil mereka secara langsung.
Partai politik juga harus meningkatkan pendidikan politik bagi publik. Kritik terhadap sistem proporsional terbuka sering kali berpusat pada bagaimana sistem ini mendorong populisme dan politik pragmatis berbasis figur. Namun, ini bukan alasan untuk menghapus sistemnya, melainkan panggilan bagi partai untuk lebih aktif dalam membangun kesadaran politik rakyat. Jika partai memainkan peran ini dengan baik, maka pemilih tidak akan sekadar memilih berdasarkan popularitas, tetapi berdasarkan pemahaman yang lebih mendalam akan visi dan kebijakan yang diusung.
Pada akhirnya, demokrasi adalah tentang keseimbangan antara partisipasi yang luas dan kelembagaan. Sistem proporsional terbuka bukan ancaman bagi partai politik, melainkan tantangan yang harus dijawab dengan strategi yang lebih adaptif. Demokrasi tidak boleh kembali ke sistem yang membiarkan rakyat berada di pinggir, hanya sebagai penonton, tetapi sistem ini juga tidak boleh dibiarkan kehilangan struktur yang menjaga stabilitas politik. Demokrasi sejati boleh terus bergerak, menyesuaikan diri, tetapi harus tetap teguh pada prinsip dasarnya: kekuasaan yang berasal dari, oleh, dan untuk rakyat.