RT - readtimes.id

Menyimak Curhatan Orwell tentang Dunia Buku dan Tulis-Menulis

Judul        : Buku Buruk yang Baik

Penulis    : George Orwell

Penerbit    : warning books

Cetakan    : Agustus 2022

Halaman    : 149 hlm

George Orwell sungguh penulis yang nyaris komplit: bukan hanya lincah dan tajam saat bicara wacana sosial-politik dalam novel-novelnya, namun sekaligus bisa cerewet tapi bernas saat menjelaskan tetek-bengek dunia kepenulisan dan semesta literasi. Dia mampu menjadi propagandis yang garang, sekaligus menjadi guru menulis yang detail. 

“Buku Buruk yang Baik” merupakan kumpulan esai anyarnya dalam Bahasa Indonesia yang membuktikan hal tersebut. Orwell, yang bernama asli Eric Arthur Blair ini, dalam buku cukup tipis ini menyajikan ke hadapan kita esai yang relatif seimbang antara wacana ideologis dan literasi. Tapi, menurut hemat saya, alangkah baiknya jika saya akan mengulik dengan porsi lebih besar curhatan Orwell tentang dunia buku dan tulis menulis. Buku esainya yang lain, sepenilaian saya, sepanjang yang beredar dalam Bahasa Indonesia, tidak terlalu banyak memberi ruang Orwell membicarakan dunia buku dan kepenulisan.    

Ada 12 esai di dalam buku ini dengan jumlah halaman yang berbeda: ada yang pendek barangkali 300an kata hingga 1000an kata. Esai-esainya merentang dari tahun 1944 hingga 1946 (sebagian besar ditulis 1946). Hanya satu esai yang dimuat pada 1972, “Kebebasan Pers”, yang berupa kata pengantar untuk buku fenomenal Orwell: “Animal Farm”.

Ada 8 esai yang khusus membicarakan dunia buku. Kedelapan esai-esai tersebut, kebetulan disusun berurutan dari esai pertama sampai ke-delapan, membicarakan pengalaman Orwell sendiri dalam menjadi pengulas buku buku, menjawab pertanyaan pembaca, atau merefleksikan kondisi literasi di Inggris pada masanya. 4 sisanya merupakan refleksi Orwell terhadap wacana ideologi politik seperti monarki, nasionalisme, totalitarianism, dan sebagainya. Meskipun demikian, udarannya terhadap wacana besar tersebut tetap berguna buat kita atau pembaca Orwell untuk lebih tajam memahami substansi novel-novelnya. 

Saya pikir, “Buku Buruk yang Baik” ini sedikit banyak bisa menjadi pintu gerbang buat kita untuk memahami Orwell baik sebagai pribadi yang kompleks maupun sebagai sosok yang cenderung dan kadung dipuja-puji tanpa cacat.

Orwell dan dunia buku serta tulis menulis

 “Buku versus Rokok” adalah esai Orwell yang membuat saya tersenyum dan tertawa kecil. “Kok gabut sekali si Orwell ini sampai harus menginventarisir seluruh bukunya hanya untuk mencari jawaban yang mana sebetulnya lebih mahal, biaya membeli buku atau rokok?” batin saya.

Esai pendek tiga halaman ini berpangkal dari rasa penasaran Orwell terhadap pendapat teman-temannya sesama pekerja yang mengatakan bahwa mereka selalu melewatkan kolom sastra di satu koran karena kolom sastra tersebut sering merekomendasikan buku yang mahal bagi mereka. “Orang-orang seperti kami bahkan tidak bisa mengeluarkan dua belas shilling dan enam pance untuk sebuah buku;” begitu alasan mereka. 

Lalu Orwell mulai mendata buku-bukunya (baik yang jadi miliknya sendiri, pemberian beberapa penerbit untuk dia ulas, atau hasil pemberian temannya maupun yang dipinjam lalu tak kembali). Mulai dia memperkirakan biaya-biaya yang dia keluarkan atas buku-buku tersebut, kemudian dia perbandingkan dengan biaya lain selain buku—seperti rokok. Tak lupa dia memasukkan pertimbangan aspek lain seperti jangka kepemilikan atas dua barang berbeda tersebut: buku dan rokok. Misalnya, buku memang lebih malah dari rokok, tapi setiap buku memiliki karakter yang berbeda: ada yang bisa dibaca berulang kali, atau dibaca sekali duduk, dan sebagainya. Namun, rokok adalah jenis barang yang dikonsumsi lantas habis, sedangkan buku adalah jenis barang yang bahkan selesai dibaca pun tetap akan ada menjadi milik kita. Jadi menurutnya perbandingan dua hal ini tidaklah adil.

Ada beberapa aspek lagi yang dia masukkan sebagai perbandingan antara buku dengan barang non buku. Namun, di akhir esai “Buku versus Rokok” ini, Orwell mencoba menyimpulkan dengan hati-hati: “Dan jika konsumsi buku kita tetap sama rendahnya, setidaknya mari kita akui bahwa itu karena membaca adalah hiburan yang kurang menyenangkan dibandingkan bermain bersama anjing, pergi ke bioskop, atau pub, dan bukan karena buku itu sendiri, baik yang dibeli maupun dipinjam, terlalu mahal.”

Kesimpulan yang apik, bukan? Saya kira ini sangat relevan dengan kondisi literasi kita sendiri di Indonesia. Walaupun, kita tak bisa menjadikan ini semacam pembenaran bahwa buku itu harus mahal. Budaya membaca sebagai hobi dengan buku sebagai barang yang mahal adalah dua hal berbeda.

Itu baru satu esai yang barangkali membuktikan bahwa esai-esai Orwell terkait dunia buku sangat menarik dan menggelitik. Nuansa yang sama akan kita temukan juga di esai-esai lainnya dengan tema serupa. Misalnya, “Biaya Sebuah Aksara”. Di dalam esai empat halaman ini, Orwell secara lugas dan ringkas menyenarai  jawaban-jawaban atas pertanyaan majalah Horizon tentang dunia penulis. Pertanyaan-pertanyaan tersebut menyangkut biaya hidup seorang penulis, apakah pekerjaan kedua bagi seorang penulis yang belum ‘mapan’, bagaimana sebaiknya peran negara dalam mendukung dunia penulis, dan pertanyaan lainnya. Dan konteks pertanyaan serta jawaban yang diinginkan adalah dalam konteks Inggris pada masa itu.

Beberapa jawaban Orwell yang bisa dikutip dalam “Biaya Sebuah Aksara” adalah: seorang penulis seharusnya mendapatkan gaji atau bayaran yang layak. Karena fasilitas dan tenaga yang dibutuhkan atas pekerjaannya bukanlah sepele. Negara, menurut Orwell, perlu mengalihkan lebih banyak dana publik untuk membeli buku bagi perpustakaan umum. Dan beberapa opini menarik lainnya. 

Lagi-lagi, relevankah, dengan kondisi perbukuan kita di Indonesia? Dan saya rasa, saran Orwell tak kalah relevannya untuk kita ajukan ke pemerintah kita sendiri di dalam negeri.

Lalu untuk esai-esai lainnya, Orwell masih menawarkan opini-opini lugas tanpa bertele-tele terhadap permasalahan dunia buku dan tulis-menulis. Meskipun konteksnya pada masyarakat Inggris semasa sesudah Perang, namun entah mengapa menurut saya masih tetap relevan sampai saat ini.

Untuk tema tulis menulis sendiri, pembaca bisa menyelami esainya, “Politik dan Bahasa Inggris”. Jangan terkecoh dengan judul yang barangkali nampak membawa wacana besar itu. Bacalah pelan-pelan, niscaya kita akan sampai pada pembahasannya tentang bagaimana seharusnya menulis prosa yang baik itu. Orwell akan mengajak kita mengikuti ‘kelas menulis’-nya dan mengajarkan kepada kita bagaimana menggunakan metafora dengan baik, menghindari diksi yang pretensius atau kata-kata yang tidak bermakna, melenyapkan klise, dan masih banyak lagi.

Saya rasa saya sudah membahas cukup banyak hal-hal menarik di dalam “Buku Buruk yang Baik” ini. Para pembaca yang belum membaca kumpulan esai ini, segeralah membacanya. Selami lebih banyak lagi esai-esai menarik lainnya Orwell dalam buku ini. Termasuk apa yang dimaksud dengan ‘buku buruk yang baik’ yang kemudian jadi judul sampul buku.

Selamat membaca dan bertualang!    

Dedy Ahmad Hermansyah

Tambahkan Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: