Readtimes.id– Resah. Seperti itu kiranya suasana hati masyarakat Jakarta, Makassar, Medan, dan beberapa kota di Pulau Kalimantan di awal tahun, terutama bagi mereka yang bermukim di pinggiran sungai dan dataran yang rendah.
Bagaimana tidak curah hujan yang tinggi di rentang bulan Januari dan Februari senantiasa membuat banjir wilayah tersebut. Di masa seperti itu, masyarakat tak hanya harus bersiap kehilangan harta benda setiap awal tahun karena terbawa arus, tapi juga nyawa.
Bila melihat data analisis Aqueduct Global Flood Analyzer, Indonesia tergolong sebagai negara dengan dampak banjir terbesar ke -6 dunia, dengan angka korban jiwa mencapai 640.000 orang setiap tahun. Dan Banjir adalah bencana yang paling sering terjadi di Indonesia dengan angka 464 kejadian tiap tahun (BNPB).
Melihat besaran angka di atas tentu upaya mitigasi banjir di wilayah perkotaan adalah hal yang tak bisa lagi ditunda-tunda demi menekan angka korban yang terus berjatuhan, mengingat sekali lagi kota adalah wilayah yang sangat padat akan penduduk.
Menanggapi hal tersebut A.Idham Pananrangi pakar Perencanaan Wilayah dan Kota UIN Alauddin Makassar saat dihubungi oleh readtimes.id mengatakan sejatinya ada dua model pendekatan yang bisa digunakan dalam rangka upaya mitigasi bencana banjir di wilayah perkotaan yaitu secara struktural dan non- struktural
” Dengan pendekatan non-struktural kita bisa mulai dengan kebijakan penataan ruang, yaitu dengan tidak membangun pada wilayah yang rentan banjir seperti bantaran sungai atau menutupi wilayah yang memang diperuntukkan sebagai daerah resapan air ” terang Direktur Lestari Center ( Lembaga Studi Tata Ruang dan Infrastruktur) itu.
Sementara untuk struktural adalah dengan mengurangi kerentanan terhadap bencana melalui desain bangunan, misalnya dengan penggunaan teknologi atau yang disebutnya sebagai teknologi pompanisasi. Dengan teknologi ini pemerintah bisa membangun rumah pompa seperti yang telah diterapkan di beberapa kota di Indonesia, salah satunya adalah Jakarta.
Melalui teknologi rumah pompa ini nantinya kelebihan air ini akan dipompa untuk masuk ke kanal-kanal yang ujungnya akan mengalir menuju laut. Ini yang kemudian menurut Ketua Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota UIN Alauddin Makassar ini perlu diperbanyak di kota-kota yang langganan banjir tiap tahun.
Selain itu pembangunan pola vertikal atau susun seperti di Singapura juga dapat menjadi contoh pemerintah dalam wilayah perkotaan agar mampu menyediakan ruang terbuka hijau.
Seperti yang diketahui menurut Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2007 setidaknya sebuah wilayah perkotaan harus menyediakan 30 persen ruang terbuka hijau. Dan implementasinya terhitung pada tahun 2019 menurut data yang diungkapkan oleh Direktur Jenderal Cipta Karya Kementerian PUPR Danis Hidayat Sumadilaga pada media ,dari 174 kota yang mengikuti program cakupan RTH, baru sekitar 12 kota saja yang mencapai lebih dari 30 persen
Hal ini yang kemudian lantas tak mengherankan jika A.Idham menyebut mitigasi dan penanggulangan bencana yang dilakukan di kota-kota Indonesia itu tak ubahnya seperti pemadam kebakaran saja, yaitu bertindak ketika bencana terjadi. Hal ini tak lain disebabkan karena aturan perencanaan yang lambat dimana tak berbanding lurus dengan kecepatan pertumbuhan penduduk, serta regulasi yang sejatinya sudah dibentuk pun masih sangat minim dalam tataran implementasi.
Jika demikian adanya maka masyarakat Indonesia jangan pernah bermimpi melewatkan awal tahun dengan tanpa tayangan berita banjir di televisi.
Tambahkan Komentar