
Readtimes.id– Belum usai pandemi, namun bencana hidrologi berupa banjir kembali menghampiri sejumlah kota di Indonesia pada tahun ini. Adalah Jakarta, Makassar, Medan, Banjarmasin dan Manado merupakan beberapa kota yang tergenang oleh air di awal tahun.
Curah hujan akibat dari pengaruh iklim global disinyalir menjadi sebab utama banjir tahun ini oleh para pakar. Namun tata ruang kota yang bermasalah juga tak kalah menjadi pemicu dampak banjir yang lebih besar. Akibatnya bisa dilihat tak hanya ketika terjadi perubahan iklim seperti sekarang ini, melainkan setiap awal tahun dimana kota-kota di Indonesia terbukti tak pernah lolos dari bencana banjir.
Menurut data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang dirilis pada tahun 2018, setidaknya ada beberapa Kota di Indonesia yang masuk dalam daftar kota rawan banjir seperti Jakarta, Makassar, Medan dan Manado. Dan tahun ini, kembali terbukti kota-kota seperti yang disebutkan di atas kembali dilanda banjir.
Menanggapi hal tersebut pakar tata ruang Universitas Hasanuddin, Profesor Slamet Tri Sutomo memandang bahwa permasalahan banjir di kota bisa disebabkan oleh tata ruang yang bermasalah terutama dalam menyediakan catchment area ( daerah tangkapan air ) yang menurutnya masih sangat minim
” air hujan yang turun itu kan punya sifat selalu mengalir ke tempat yang rendah, nah tempat yang rendah atau catchment area ini yang jumlah minim bahkan tidak ada di perkotaan karena banyak diokupasi oleh bangunan dan aspal ” terangnya
Pihaknya menjelaskan seharusnya jika mengikuti aturan KDB (Koefisiensi Dasar Bangunan) pendirian bangunan di kota idealnya harus memiliki 60 persen lahan terbuka untuk catchment area dan 40 persen untuk bangunan.
Lebih jauh pihaknya juga melihat bahwa dalam perencanaan pembangunan wilayah perkotaan pemerintah juga melupakan yang disebut sebagai daya tampung dan daya dukung lahan seperti yang diatur dalam pedoman perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup ( PPLH).
Berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH, Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antar keduanya, sedangkan Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya.
Hal ini yang kemudian tidak dipahami dengan baik ketika membangun wilayah perkotaan, dimana percepatan pertambahan penduduk yang selalu berjalan seiring dengan percepatan pembangunan itu selalu abai dengan kemampuan lahan. Alhasil lahan di perkotaan selalu mengalami apa yang disebut sebagai over kapasitas serta jauh dari fungsi seharusnya . Seperti kasus wilayah yang sejatinya berfungsi sebagai daerah resapan air justru digunakan untuk membangun daerah pertokoan.
Menutup penjelasannya Slamet Tri Sutomo menyarankan agar dalam perencanaan kota ke depan sebaiknya pemerintah kembali pada aturan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang di dalamnya terdapat analisis mengenai dampak lingkungan, serta perbaikan database catchment area untuk mengurangi dampak banjir yang sering terjadi di kota-kota besar.
Tambahkan Komentar