Readtimes.id– Tiada tahun tanpa banjir, itulah Indonesia. Negara kepulauan yang secara geografis terletak di kawasan cincin api pasifik ini disebut sebagai negara ketiga di dunia oleh Peneliti dari Pusat Studi Bencana Alam (PSBA) Universitas Gadjah Mada (UGM) setelah India dan China sebagai negara rawan banjir.
Bahkan banjir di Indonesia ada bencana awal tahun yang selalu dialami oleh kota- kota besar di Indonesia . Seperti di Jakarta pada tahun ini juga tahun-tahun sebelumnya, banjir selalu terjadi pada rentang bulan Januari dan Februari. Demikian juga di Kota Makassar, Sulawesi Selatan banjit juga berhasil merendam setidaknya 500 rumah warga di dua Kecamatan.
Selanjutnya masih di tahun yang sama , menurut data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah ( BPBD) Kota Banjarmasin ,banjir juga menyebabkan 100 ribu warga di Banjarmasin mengungsi ketika banjir bandang melanda Kalimantan Selatan pada akhir Januari lalu. Sementara itu hal yang serupa juga terjadi di Kota Medan, Sumatera Utara sejak Desember 2020 hingga Januari 2021 dimana banjir berhasil merendam 2000 lebih rumah warga ( Sumber : BPBD Kota Medan).
Menanggapi hal ini pakar lingkungan Universitas Hasanuddin, Hazairin Zubair mengungkapkan bahwa pada dasarnya fenomena banjir yang terjadi di beberapa kota tahun ini berbeda dengan banjir- banjir tahunan.
” Iya kalau tahun ini sebenarnya lebih disebabkan oleh curah hujan yang terlalu besar dimana dipengaruhi iklim global yang sifatnya sangat sulit untuk diprediksi dan dicegah, beda dengan banjir tahunan yang biasa terjadi ” terang Ketua Umum Perkumpulan Tenaga Ahli Lingkungan Indonesia (Pertalindo)Sulawesi Selatan ini.
Pihaknya menjelaskan untuk banjir tahunan itu terjadi tak lain disebabkan tata ruang kota yang bermasalah terutama dalam melindungi vegetasi atau tumbuhan-tumbuhan yang memiliki peran besar untuk menahan air hujan langsung jatuh ke tanah
” gunanya vegetasi itu ya untuk menahan air ini, kalau jumlahnya sudah minim pilihannya tinggal dua, air bisa terus masuk ke dalam tanah atau mengalir di permukaan. Namun kebanyakan akan mengalir. karena pada dasarnya tanah kita juga memiliki titik jenuh untuk meresap air . Jadi sekali lagi peran vegetasi itu sangat penting” tambahnya
Seperti yang diketahui dalam pasal 18 ayat 2 Undang-Undang (UU) Kehutanan tentang luas kawasan hutan atau jumlah vegetasi yang harus dipertahankan minimal 30% dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Namun jika melihat kondisi banjir yang terus berulang , tentu sudah saatnya jumlah vegetasi itu perlu dipertanyakan.
Selanjutnya adalah terkait kurangnya integrated planning antar wilayah dalam perencanaan tata ruang yang akhirnya melahirkan teknologi yang disebut sebagai ” teknologi akhir pipa” oleh Hazairin, dimana pemerintah setempat hanya memperhatikan dan memperbaiki wilayah hilir atau tempat terjadinya bencana, dan tidak memperhatikan daerah-daerah di sekitar kota yang masuk dalam wilayah tengah dan hulu yang turut menyumbang dampak bencana
” iya seharusnya dalam membangun antar wilayah itu kan perlu integrated planning, dengan memperhatikan mana wilayah hulu, tengah , dan hilir yang mana masing-masing membutuhkan perhatian khusus. Jadi jangan hilirnya saja yang diperhatikan , itu pun diperhatikan kalau sudah terjadi bencana. Inilah yang kemudian disebut pemerintah menggunakan teknologi akhir pipa dalam menghadapi bencana banjir ” tutupnya.
105 Komentar