
Pemenang Lomba Essay Readtimes.id
Akhmad Rezky Parawangsa
Suara mesin air di dalam rumah seketika berbunyi keras. Bunyi seperti itu mengartikan bahwa sedang ada yang memutar keran air di dalam kamar mandi. Ternyata itu bibiku, bibi Kunang namanya, ia sedang bersiap mengambil air wudhu. Tiba-tiba aku teringat permintaan bibi Kunang semalam untuk mengantarnya menjenguk tetangga dan kemudian aku bertanya, “Bi, jadikah kita menjenguk mama Arni sore ini?” tanyaku. “Tidak jadi deh.” Jawabnya
“Kenapa tidak jadi menjenguk? itu tetangga kita bi” tanyaku dengan wajah penasaran. “Iya tau, cuman rumah sakit itu ada tanda salib di sudut ruangannya. Perasaan bibi tidak enak jika melihat itu! nanti saja jika sudah balik ke rumahnya kita jenguk.” jawabnya.
Aku terlahir dari keluarga yang keras di sebuah kota kecil di Sulawesi Selatan, yakni Kota Parepare. Sebagai anak, aku begitu banyak mendapatkan bentuk pemikiran yang terbilang ekstrem dan beberapa anggota keluargaku menampakkan hal tersebut seperti, contohnya ketika mengunjungi tetangga yang sedang sakit.
Bibi Kunang membatalkan keberangkatan menjenguk tetanggaku dikarenakan beliau dirawat di rumah sakit yang dinaungi oleh yayasan katolik di Kotaku. Aku tidak tahu menahu mengapa bibi Kunang memiliki pemikiran seperti itu. Aku juga begitu terkejut dengan perkataan beliau yang membuat aku tidak harus berkata apa lagi.
Keadaan seperti itu bisa dikatakan dengan sebutan intoleransi. Intoleransi bukan hal baru untuk didengar, mungkin biasa terdengar di TV, ungkapan seseorang yang berbicara secara berulang-ulang mengenai hal tersebut, dan bisa jadi artikel yang justru kita temui di mesin pencari internet. Perkataan bibi Kunang adalah contoh kecil dari tingkat intoleransi di Indonesia yang semakin bertambah, sampai-sampai tidak terhitung jumlah kasus yang malah lebih mengerikan daripada pemikiran bibi Kunangi.
Aku menyadari negara Indonesia ini memiliki banyak suku, agama, ras, adat istiadat, golongan maupun bahasa. Namun ternyata hal tersebutlah yang menjadi akselerator konflik terjadinya ketidakdamaian dan kerusuhan semakin banyak terjadi di Indonesia. Pernah sekali aku juga nanya ke anaknya, Nasya. Sepupuku ini anak rohis di sekolah. Aku nanya, “Memang tidak boleh ya jika kita mengunjungi rumah ibadah agama lain?
Soalnya rumah temanku berada di gereja karena bapaknya seorang pastor.” Lalu dia menjawab, “Tidak boleh! nanti kamu cepat atau lambat menjadi orang murtad loh! kamu ini banyak bergaul sama orang seperti itu deh!”. Wah aku bingung dan jadi disudutkan, aku hanya bertanya tapi aku nampak seakan-akan sudah murtad di matanya.
Ini sangatlah bahaya setelah ku pikir lebih jauh. Kenapa aku mengatakan seperti itu? menuju tahun 2030 anak muda menjadi penentu berbagai kebijakan bangsa kita. Lihat saja beberapa menteri di jajaran kabinet Indonesia maju adalah anak muda. Apabila memiliki pemikiran yang intoleran dan cenderung radikal, hal itu sangatlah berbahaya untuk kedamaian di Indonesia. Apa lagi survey yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyatakan 33,34% anak muda setuju jika perbuatan intoleransi kepada kaum minoritas dianggap tidak masalah. Itu kan seram sekali ya?
Hal diatas yang membuatku yakin bahwa intoleransi merupakan salah satu masalah besar yang ada di Indonesia. Intoleransi inilah yang membuat hidup berbangsa dan bernegara antar masyarakat menjadi tidak damai. Sebagai anak muda berusia 22 tahun, dimana aku yang akan menjadi dewasa dan meneruskan cita-cita Gusdur untuk membuat Indonesia yang damai patut aku perjuangkan. Maka dari itulah #MerawatToleransi selalu menjadi tagar misiku sejak 2018 lalu. Teringat dulu kata Mentor ku, saat aku mengikuti kelas menemukan misi hidup.
Beliau pernah bilang, “Jika kamu ingin menemukan misi hidupmu, cukup tanyakan dua pertanyaan pada dirimu, yakni apa yang membuat kamu senang dan apa yang membuat kamu marah. Pikirkan dan resapi titik-titik di setiap alurnya.” Waktu itu aku bingung cara menjawabnya seperti apa. Aku merenungi semua kejadian dalam hidupku, satu persatu mulai aku ingat dan muncullah satu keterhubungan yakni aku sangat senang dengan kolaborasi dan sangat marah dengan intoleransi.
Akhirnya aku mengerjakan hal-hal yang terus bisa #MerawatToleransi di Indonesia. Mimpiku di 2021 adalah gerakan #MerawatToleransi akan lebih masif lagi dampaknya terhadap anak muda. Bagi beberapa orang, hal ini akan terdengar sangat biasa. Namun untukku yang memiliki misi hidup berkolaborasi dan #MerawatToleransi adalah hal yang berarti bagiku. Tahun 2017 hingga 2020 ini memiliki banyak perubahan pada diriku sendiri ketika menyuarakan gerakan ini.
Aku menyediakan program yang dimana siswa SMA lebih damai lagi ketika melakukan Ospek, belum lagi mempertemukan siswa sekolah kristen dengan pesantren dan hal yang paling membuatku menangis terharu, aku bisa membuat seorang anak tuna wicara menjadi orang yang berani dan bersyukur atas apa yang dimilikinya. Dalam #MerawatToleransi tidak hanya sekedar hubungan kita dengan orang lain, namun hubungan kita dengan diri kita sendiri untuk menemukan inner peace. Mimpiku di tahun 2021 ini mengingatkan dengan kata ibu Sri Mulyani,
“Jangan pernah lelah mencintai Indonesia!”. Banyak sekali yang perlu kita lakukan untuk terus membenahi negeri ini, makanya kita harus melakukannya bareng-bareng. We do what we can do!
*Nama tokoh diatas bukan nama sebenarnya, yang dilakukan untuk melindungi identitas.