RT - readtimes.id

Mural, Antara Ekspresi Seniman dan Penanda Zaman

Readtimes.id– Pekan Kemerdekaan belum usai, namun negara sudah ribut dengan wacana pembatasan kebebasan ekspresi publik. Kali ini tentang mural yang bertuliskan “404 ; not found” di wajah Presiden Jokowi di sekitar wilayah Batuceper, Kota Tangerang . Heboh karena dituding menghina lambang negara. Heboh juga karena selain dihapus, pembuatnya juga sedang diburu polisi.

Dan Ini bukan kali pertama di kala pandemi, sebelumnya ada pula mural yang bertuliskan ‘Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit”di Bangil, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur yang juga dihapus aparat karena dianggap mengganggu ketertiban umum. Begitu pula dengan mural “Tuhan Aku Lapar!!” yang terpampang di Jalan Raya Aria Santika, Tigaraksa, Tangerang, juga dihapus dan pembuatnya pun disambangi polisi.

Karya mural di ruang publik yang tak jarang berisi kritik sosial juga wadah seniman berekspresi, sejatinya bukan hal yang baru di Indonesia. Telah ada bahkan sejak negara ini masih disambangi Belanda, seperti yang dituliskan Gede Indra Pramana dan Azhar Irfansyah, dalam jurnal yang berjudul “Street Art Sebagai Komunikasi Politik: Seni, Protes, dan Memori Politik” yang menyebutkan bahwa keberadaan mural masa itu bisa dilacak kehadirannya melalui coretan besar di gerbong kereta pada periode revolusi 1945-1949. Coretan bertulis “Merdeka Ataoe Mati,” yang tertulis besar-besar sebagai peringatan kedatangan kembali tentara NICA yang mengancam kemerdekaan Indonesia.

Begitu pula di zaman orde baru yang berkuasa di Indonesia selama lebih kurang 32 tahun, mural juga menjadi media perjuangan untuk menyampaikan keluh kesah masyarakat di tengah keterbatasan berekspresi yang umumnya dibuat oleh para aktivis mahasiswa.

Hingga kemudian zaman Jokowi yang pada periode kedua tepat dengan momen pandemi Covid-19, di mana mural tetap eksis. Tidak hanya menyampaikan kritik sosial seperti yang sedang ramai diperbincangkan seperti sekarang, di beberapa kota tidak jarang juga terdapat mural – mural edukasi tentang anjuran penerapan protokol kesehatan, seperti di jalan Halim Perdana Kusuma, Benda, Kota Tangerang Banten, Solo Jawa Tengah juga di Pantai Losari Kota Makassar yang menampilkan anjuran penggunaan masker juga ajakan mencuci tangan.

Tidak hanya muncul terkait keadaan yang sedang diperbincangkan saja. Mural juga muncul ketika negara ini mempunyai hajatan besar seperti Asean Games di Jakarta 2018 silam, dimana banyak mural terkait olahraga yang muncul di sudut- sudut Ibu Kota.

Bak penanda zaman mural merekam setiap momen yang terjadi di republik yang baru saja merayakan kemerdekan ke- 76 ini, hadir tidak hanya menjadi ruang seniman untuk “unjuk gigi” melainkan juga untuk menyampaikan keresahan publik.

Secara bentuk, mural sangat beragam tergantung pada siapa yang membuatnya seperti yang dijelaskan Dr.J.A. Wempi, pakar komunikasi dari London School of Public Relations (LSPR).

“Biasanya kalau pesan mural itu mudah ditangkap itu cenderung dibuat oleh masyarakat yang gelisah. Tapi ada juga yang sedikit sulit dan multitafsir itu biasanya dibuat oleh para seniman yang mencoba untuk menuangkan ekspresinya,” terangnya kepada readtimes.id.

Adapun jenis pesan yang cenderung langsung dan mudah ditangkap dalam mural tidak lain adalah bentuk protes publik yang berharap untuk segera mendapat respon dari pemerintah atau penguasa rezim.

Sosok yang berhasil mempertahankan mural sebagai topik disertasinya ini, juga menjelaskan bahwa sebagai media komunikasi juga tempat berekspresi, sudah selayaknya pesan mural terkait kritik sosial itu harus jelas dan mudah ditangkap. Tujuannya agar dapat menimbulkan dampak yang signifikan terlebih ketika itu dituangkan di area publik di mana seluruh masyarakat dapat melihatnya termasuk para pejabat publik.

“Dari sisi komunikasi sebaiknya pesan itu harus mudah ditangkap, karena kembali lagi mural itu media komunikasi untuk menyampaikan sebuah pesan dari si pembuat pesan untuk penerima pesan. Jika tidak ditangkap pesannya untuk apa?” tambahnya

Lebih jauh pihaknya juga mengungkap bahwa mural akan tetap menjadi pilihan masyarakat untuk menyampaikan kritik meski sudah ada internet. Pihaknya memandang hal ini terjadi karena kemudahan mural untuk menyampaikan pesan dan mudah diakses publik. Berbeda dengan internet yang menurutnya masih membutuhkan konten menarik dan strategi khusus untuk menyampaikan sebuah pesan atau kritik untuk kemudian menjadi viral.

Selain itu mural akan tetap eksis karena masih menjadi pilihan medium para seniman untuk mengekspresikan diri dalam merekam zaman.

Ona Mariani

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: