Readtimes.id– Dilematis betul posisi para seniman mural sekarang. Di lain sisi ingin menuangkan ekspresi juga mewakili keresahan publik, namun juga harus bersiap dicari aparat kepolisian dan karyanya dihapus karena dianggap mengganggu ketertiban umum.
Seperti itu kira-kira yang terjadi dalam sepekan belakangan di sejumlah daerah di Tanah Air. Di Tangerang terutama, tercatat sudah ada tiga mural yang dihapus dan pembuatnya disambangi polisi.
Pertama mural “Tuhan Aku Lapar !!” Juli lalu di Kecamatan Tigaraksa ini dihapus dan pembuatnya disambangi polisi untuk diberikan sembako, tanpa lebih jauh memberikan penjelasan mengapa mural sepanjang 12 meter itu dihapus. Selanjutnya yang viral mural di wilayah Batu Ceper yang bertuliskan “404 ; not found” di wajah Presiden Jokowi juga dihapus karena dianggap mengganggu ketertiban umum dan berindikasi penghinaan simbol negara. Dan yang ketiga “Wabah Sesungguhnya adalah Kelaparan” juga dihapus oleh aparat Kecamatan Ciledug, Tangerang belum lama ini setelah viral mural terkait Jokowi.
“Gambar itu sudah dihapus karena berada di pintu masuk pekarangan orang,” kata Syarifuddin, Camat Ciledug kepada media.
Pihaknya juga mengatakan mencorat-coret di tempat umum dianggap vandalisme yang merupakan pelanggaran Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2011 tentang Ketertiban Umum. Menurut Syarifudin siapapun harus meminta izin jika ingin membuat mural.
Izin, hal yang mungkin akan nampak sulit didapatkan oleh para seniman mural jika kemudian pesan mural tersebut bernada kritik pada pemerintah. Belajar dari kasus mural-mural sebelumnya yang berujung dihapus.
Ketua Asosiasi Prodi Ilmu Hukum Se -PTKIN, Rahman Syamsuddin, memandang bahwa melalui kasus ini dapat dilihat bahwa pemerintah khususnya pemerintah daerah belum memberikan ruang yang cukup kepada masyarakat untuk menyalurkan pendapat serta ekspresinya.
“Menggambar di fasilitas publik yang kemudian dipandang sebagai hal yang melanggar perda itu adalah bukti bahwa tidak ada ruang yang cukup untuk anggota masyarakat atau seniman-seniman mural ini menyalurkan ekspresinya yang sekiranya itu dapat mewakili keresahan publik,” terangnya.
Baca Juga : Mural Antara Ekspresi Seniman dan Penanda Zaman
Pada kesempatan yang sama pihaknya juga menyayangkan respon dari aparat yang terlalu berlebihan dalam menanggapi kehadiran mural -mural tersebut yang bahkan terkesan akan membawa kasus ini pada jalur pidana.
“Sebenarnya kalau di perda terkait ketertiban umum itu sanksinya lebih ke administratif di mana ini sifatnya lebih ke perdata bukan pidana. Jarang sekali ditemui pelanggaran perda seperti ini yang kemudian berujung pada sanksi pidana,” tambahnya.
Melalui respon aparat yang berlebihan itu, menurut Rahman secara tidak langsung justru memperlihatkan wajah negara hari ini yang justru anti kritik. Cenderung bertolak belakang dengan apa yang disampaikan Presiden yang selalu berharap adanya kritik dari masyarakat.
Hal ini boleh jadi terjadi karena dua hal, yakni pemerintah yang memang betul-betul ketakutan, atau tidak terbangunnya koordinasi yang baik antara Presiden dengan para pembantunya terkait bagaimana seharusnya merespon kritik dari masyarakat.
Tambahkan Komentar