Readtimes.id– Genap sembilan tahun publik menunggu DPR merampungkan rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), sejak Komnas Perempuan pada 2012 meminta DPR menghadirkan payung hukum atas maraknya kasus kekerasan seksual.
Menurut catatan Komnas Perempuan dalam rentang 2001-2011 ada sekitar 25 persen kasus kekerasan yang terjadi terhadap perempuan. Setiap hari, sekurangnya 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Artinya, setiap 2 jam ada 3 perempuan yang menjadi korban.
Sementara itu pada laporan Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan pada rentang 2012-2020 tercatat ada 45.069 kasus. Angka-angka yang jelas hanya bisa diperoleh karena keberanian korban melaporkan kejadian yang dialaminya. Lebih dari itu, kasus kekerasan seksual terhadap perempuan adalah sebuah fenomena gunung es.
Dalam siaran pers yang diterima readtimes.id pada Jumat (17/12), Siti Aminah Tardi dan komisioner Komnas Perempuan mengungkap pentingnya kehadiran payung hukum seperti RUU TPKS. Payung hukum tersebut sejatinya lebih dari sekadar merespon banyaknya jumlah kasus, melainkan juga kompleksitas kasus kekerasan yang selama ini cenderung menyalahkan korban atau reviktimisasi ketika sudah menempuh jalur hukum. Di mana menjadi salah satu faktor yang kemudian menyebabkan rendahnya jumlah kasus yang terungkap dan membuat korban tidak terpenuhi hak atas keadilan, kebenaran dan pemulihan.
Seperti yang diketahui kini nyatanya kompleksitas tidak hanya ditemukan dalam kasus kekerasan seksual, melainkan juga dalam mewujudkan sebuah payung hukum yang berpihak pada korban kasus kekerasan seksual.
Patut diketahui pada periode DPR 2014-2019 RUU terkait penanganan kasus kekerasan seksual pernah dibahas dengan pemerintah. Namun, sampai akhir periode tidak berhasil menyetujui satupun isu dalam daftar inventaris masalah (DIM) RUU tersebut. Akibatnya, RUU P-KS tidak dimasukkan sebagai RUU carry over melainkan harus dimulai dari awal.
Selain faktor kepentingan hak-hak korban tidak ditempatkan sebagai isu pokok pembahasan, mispersepsi, miskonsepsi dan prasangka terhadap substansi RUU yang dulu dinamakan sebagai RUU penghapusan kekerasan seksual atau RUU P-KS di berbagai ruang dan media sosial turut mempengaruhi pembahasan di Panja Komisi 8 DPR RI. Narasi pro-zina dan LGBT menjadi sesuatu yang senantiasa didengungkan.
Dan kondisi tersebut masih berlanjut terhadap RUU yang kini diubah namanya menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) di mana belakangan kembali batal masuk dalam agenda paripurna di DPR pada Kamis (16/12).
Menanggapi ini Komnas Perempuan menyayangkan proses legislasi RUU TPKS yang tersendat. Ia mendesak agar Pimpinan DPR RI memastikan pembahasan dan pengesahan RUU TPKS tahun depan.
“Mendesak pimpinan DPR RI untuk memastikan pembahasan dan pengesahan RUU TPKS sebagai usul inisiatif DPR RI pada tahun 2022,” terang Siti Aminah Tardi dan komisioner Komnas Perempuan lainnya.
Lebih dari itu Komnas Perempuan juga mendorong publik untuk terus mengawal dan mendukung Badan Musyawarah/ Pimpinan DPR RI menetapkan RUU TPKS sebagai RUU inisiatif DPR dalam pembukaan masa sidang paripurna DPR RI Januari 2022.
Seperti yang diketahui belakangan pimpinan DPR, Puan Maharani mengungkap alasan mengapa RUU TPKS tidak masuk dalam agenda rapat paripurna, yakni karena terbatas oleh waktu.
“Ini hanya masalah waktu, karena tidak ada waktu yang pas atau cukup untuk kemudian dirundingkan secara mekanisme yang ada,” ujar Puan pada wartawan, Kamis (16/12).
Baca Juga : Dalih Tak Cukup Waktu, RUU TPKS Batal Lagi Masuk Paripurna DPR
Tambahkan Komentar