
Readtimes.id– Upaya pemberantasan korupsi Tanah Air kini benar-benar berada di titik nadir. Selain pemberian vonis yang ringan, kini syarat mendapatkan remisi untuk napi korupsi pun turut dipermudah.
Hal itu dimungkinkan setelah 28 Oktober lalu Mahkamah Agung (MA) akhirnya memutuskan untuk menghapus syarat koruptor wajib menjadi justice collaborator atau bekerja sama dengan penegak hukum dalam membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya, demi bisa mendapatkan remisi atau pemotongan masa hukuman.
Seperti yang diketahui syarat justice collaborator ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 atau yang dikenal dengan PP pengetatan remisi koruptor.
Syarat ini dicabut oleh MA setelah Subowo dan empat rekannya yang saat ini sedang menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin Kelas I A, Bandung, Jawa Barat, memutuskan untuk melakukan permohonan uji materiil dan menggugat pasal 34 A ayat (1) huruf a dan b, Pasal 34A ayat (3), dan Pasal 43A Ayat 1 huruf a, serta Pasal 43A Ayat (3) PP 99/2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Hak-hak Narapidana.
Dilansir dari Antara, ada sejumlah pertimbangan yang membuat majelis hakim Supandi sebagai ketua dan Is Sudaryono dan Yodi M Wahyunadi selaku anggota mengabulkan uji materiil tersebut. Diantaranya adalah fungsi pemidanaan tidak lagi sekadar memenjarakan pelaku agar jera, tetapi usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang sejalan dengan model restorative justice (model hukum yang memperbaiki).
Selain itu, remisi merupakan hak semua warga binaan apapun jenis kasusnya dengan maksud lain tidak seharusnya ada diskriminasi. Remisi baru bisa dicabut ketika ada putusan tertentu oleh pengadilan.
Baca Juga : Remisi dan Ironi Pemberantasan Korupsi
Peneliti Anti Corruption Committee (ACC), Angga Reksa, menilai alasan hakim mengabulkan permohonan uji materiil PP Nomor 99 Tahun 2012 untuk menghindari adanya diskriminasi dalam pemberian remisi bagi napi korupsi sebagai sesuatu yang keliru.
“Seharusnya majelis hakim bisa melihat lebih jauh tujuan adanya PP tersebut. Karena tindak pidana korupsi adalah extra ordinary crime (kejahatan luar biasa) maka terkait pemberian remisi tidak boleh disamakan dengan napi biasa,” terangnya saat dihubungi oleh readtimes.id.
Seperti yang diketahui, pengakuan terkait korupsi adalah kejahatan luar biasa sebelumnya telah diakui Indonesia dalam Konvensi Antikorupsi PBB (UNCAC). Hal itu sudah tertuang dalam UU No 31/1999 sebagaimana diubah dalam UU No 20/2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Korupsi dianggap sebagai kejahatan luar biasa tak lain karena dampak yang ditimbulkan oleh korupsi sangat luas bagi masyarakat, sedangkan tindak pidana biasa hanya merugikan individu.
Lebih lanjut menurut Angga, dengan putusan MA tersebut koruptor juga akan lebih mudah keluar dari penjara, di mana hal ini tidak akan pernah menimbulkan efek jera bagi pelaku korupsi.
“Orang tidak akan takut lagi melakukan korupsi. Toh hukumannya ringan, bisa dapat remisi dan “untungnya” besar,” tambahnya.
Selain itu penghapusan syarat justice collaborator juga semakin jelas menunjukkan surutnya keseriusan negara dalam memberantas praktik korupsi di Tanah Air.
Hal ini mengingat ketika peraturan justice collaborator masih berlaku saja, publik berulang kali telah dikejutkan dengan berbagai pemberitaan terkait pemberian remisi terhadap sejumlah koruptor yang selama ini menjadi buronan negara.
Pemberian remisi bagi Djoko Tjandra terpidana kasus cessie Bank Bali yang buron 11 tahun, Andi Irfan Jaya terpidana kasus suap yang melibatkan jaksa Pinangki, juga Eni Maulani Saragih terpidana kasus suap PLTU Riau-1, saat HUT RI oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham, adalah sekian dari banyak contoh pemberian remisi bagi napi korupsi yang dinilai janggal dan mencederai rasa keadilan publik.
Lantas bagaimana jadinya ketika persyaratan Justice Collaborator akhirnya ditiadakan sama sekali ?
Editor : Ramdha Mawadda
5 Komentar