Readtimes.id– Peran perempuan di perhutanan sosial masih dipandang sebelah mata. Hal ini bertentangan dengan desain awal program perhutanan sosial yang selain ditujukan untuk mengurangi kemiskinan masyarakat sekitar hutan, juga untuk mempromosikan keadilan dan kesetaraan dalam pengelolaan hutan.
Hal ini diungkap oleh Andi Vika Faradiba Muin, peneliti asal Fakultas Kehutanan Unhas yang memaparkan hasil penelitiannya dalam kegiatan Forest and Society Research Group (FSRG) yang bertajuk ” Ruang : Melihat Sains Lebih Dekat” di Gedung Ipteks Unhas pada Sabtu, 20 Mei 2023.
“Hanya 4% perempuan yang terlibat dalam program perhutanan sosial di seluruh Indonesia dan sekitar 5% di Sulawesi Selatan. Itupun waktu kami melakukan penelitian tidak menemukan data pilahnya,” ujar Vika
Pada diskusi yang merupakan rangkaian kegiatan FStival 2023 Volume 1, Vika menambahkan, sebagian besar peran perempuan yang terlibat di kelompok perhutanan sosial hanya sebatas pencatatan administrasi.
“Kami bertanya pada salah satu kelompok tani yang anggotanya hampir perempuan semua. Kami tanya bagaimana anda bisa masuk dalam kelompok ini. Lalu mereka menjawab, saya sebenarnya tidak masuk di kelompok ini, tapi suami saya,” imbuhnya.
Menanggapi hal tersebut, Muchlas Dermawan dari Tim Layanan Kehutanan Masyarakat mengatakan, struktur kelembagaan program perhutanan sosial memang masih cenderung berpihak pada keuntungan elit laki-laki. Padahal menurutnya, kelembagaan tersebut juga harus memberikan porsi yang sama untuk perempuan.
“Laki-laki memang disangkanya mampu beraktivitas lebih dari perempuan, tapi ketika berbicara soal program perhutanan sosial, mereka agak pasif. Sementara peluang jika dikelola oleh perempuan, kita melihat lebih solid dibanding laki-laki,” ujarnya.
Ia pun menegaskan keterlibatan perempuan dalam program perhutanan sosial perlu didorong. Dengan begitu, program perhutanan sosial yang dirancang untuk mendorong keadilan dan kesetraan dalam pengelolaan hutan mampu terlaksana dengan baik.
Tambahkan Komentar