RT - readtimes.id

Perdagangan Satwa Liar Masih Jadi Bisnis Menggiurkan, Perlindungan Berbasis Masyarakat Dibutuhkan

Readtimes.id– Perdagangan satwa liar masih menjadi bisnis menggiurkan. Meski telah ada upaya penindakan sanksi tegas, namun praktik ini masih terus dilakukan untuk dikonsumsi maupun dipelihara sebagai hewan eksotik. Keuntungan yang diperoleh dari bisnis ini memang sangat menjanjikan. Sebab, banyak permintaan dari luar negeri yang menginginkan organ tubuh satwa langka untuk dijadikan obat, kosmetik, maupun fesyen.

Sulawesi merupakan salah satu pulau di Kawasan Wallacea yang dikenal sebagai habitat bagi banyak spesies endemik. Namun bersamaan dengan itu, perdagangan satwa liar juga marak terjadi, khususnya di Kota Makassar.

Masalah perdagangan satwa ini menjadi topik diskusi dalam dialog interaktif FStival yang berlangsung di Gedung Ipteks Unhas, Sabtu (20/05). Dalam dialog tersebut dipaparkan hasil penelitian yang dilakukan Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, Risma Illa Maulany bersama timnya.

Temuan Risma dkk, jumlah jenis satwa yang dijual di Kota Makassar sebanyak 62 spesies dengan total individu sebanyak 2.642 ekor dari berbagai kelompok satwa (burung, mamalia, dan reptil). Dari 62 spesies yang diperdagangkan di pasar Makassar, 33 spesies berasal dari Indonesia (53,2%), dan 6 spesies (18%) di antaranya adalah endemik Pulau Sulawesi.

“Di pasar, kami juga menemukan spesies dengan status terancam punah, seperti kukang ungu dan penyu kotak Wallacea. Adapun spesies dengan status rentan, seperti Python burma. Tiga spesies lain yang diperdagangkan adalah hampir terancam, seperti burung Lovebird Fischer, Lory bergaris biru, dan Tanimbar corella,” dikutip dari Jurnal Risma berjudul “Menelusuri Perdagangan Satwa Liar Saat ini: Investigasi Awal di Kota Makassar, Indonesia”.

Di Makassar, yang perhatian utama adalah banyaknya spesies burung yang diperdagangkan, yaitu 37 spesies. Dari jumlah tersebut, ada 43 persen yang dilindungi oleh peraturan nasional dan internasional. Mayoritas hewan yang dipamerkan di pasar adalah burung yang dijual sebagai hewan peliharaan.

“Pemelihara burung dianggap kaya dan kepercayaan ini tampaknya menyebar ke luar Pulau Jawa. Salah satu alasan banyaknya burung di pasar adalah kemudahan pengangkutannya sehingga relatif mudah disembunyikan dan diselundupkan baik di dalam maupun luar negeri,” terang jurnal terbitan Forest Society tersebut.

Turut hadir memberi tanggapan, Agung Dewantara dari Komunitas Balla Konservasi. Ia mengatakan, banyak faktor yang memengaruhi pemeliharaan satwa saat ini, salah satunya atas dasar kesenangan dan bagi sebagian orang, memelihara burung dengan harga tinggi jadi kepuasan tersendiri.

“Memang beberapa dari teman-teman sudah mampu mengembangbiakkan, memulihkan generasi tapi dalam peran secara ekologi di alam itu tidak berfungsi dengan baik,” ucapnya.

Hal yang sama juga disampaikan Halia Asriyani dari Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia. Ia menawarkan sebuah konsep perlindungan satwa dengan metode yang lebih humanis, yakni melibatkan masyarakat dalam proses perlindungan satwa.

Konsep ini mengharuskan lembaga-lembaga yang berfokus pada perlindungan satwa liar melibatkan masyarakat dalam pekerjaan mereka dan memberikan alternatif solusi.

“Itu adalah mata pencaharian mereka yang kemudian kalau mereka berhenti, alternatifnya apa? Ketika itu bisa terjawab, pola pikir masyarakat setidaknya mulai berubah dari yang awalnya mereka berburu dan menjual hingga beralih pada keadaan melindungi satwa,” ujar Halia.

Dewi Purnamasakty

Tambahkan Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: