RT - readtimes.id

Persoalan Partisipasi Publik Bayangi Capaian Legislasi DPR

Readtimes.id– Persoalan partisipasi publik kerap menjadi sebab Undang-Undang (UU) yang telah disahkan diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK). Seperti UU Cipta Kerja yang kemudian diputus inkonstitusional bersyarat. 

Kini UU Ibu Kota Negara (IKN) juga diajukan ke MK oleh sekelompok masyarakat yang mengatasnamakan Poros Nasional Kedaulatan Negara pada Rabu (2/2). Para pemohon uji formil UU IKN ini  terdiri dari mantan penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi, Abdullah Hehamahua, Marwan Batubara (anggota DPR RI periode 2004 -2009), Muhyiddin Junaidi (Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI), Letnan Jenderal TNI (Purn) Soeharto,  Mayjen TNI (Purn) Soenarko dan lain-lain. 

Mereka menganggap pembentukan UU IKN ini telah bertentangan dengan berbagai asas, salah satunya asas keterbukaan. 

Dalam wawancaranya dengan media, kuasa hukum para pemohon, Victor Santoso Tandiasa, menuturkan bahwa hal ini terbukti dari sulitnya mengakses dokumen dan informasi pada pembahasan RUU oleh publik. Menurutnya, dari 28 tahapan pembahasan RUU IKN di DPR, hanya ada tujuh agenda yang dokumennya dapat diakses publik. Hal tersebut yang kemudian dinilai menggambarkan fakta bahwa representasi masyarakat yang terlibat dalam RUU IKN sangat parsial, tidak holistik. 

Pakar hukum tata negara Universitas Hasanuddin Romi Librayanto, memandang persoalan partisipasi publik dalam pembentukan UU pada dasarnya untuk menjangkau berbagai macam kepentingan publik atas hadirnya UU tersebut. 

“Untuk menjamin hak-hak atau kepentingan kita terwadahi alias tidak ditelantarkan, itu inti poinnya,” terangnya saat dihubungi readtimes.id pada Jumat (4/2).

Sesuatu yang pada praktiknya di lapangan dapat diwakilkan dengan meminta masukan dari sejumlah individu dengan kepakaran tertentu, perguruan tinggi, maupun kelompok masyarakat tanpa harus menanyakan hal tersebut secara perorangan untuk  dapat dikatakan holistik.

Kendati demikian, Romi mengakui bahwa untuk menjamin terwadahinya sejumlah kepentingan publik itu, DPR beserta pemerintah harus memaksimalkan konsultasi publik hingga ke derajat tertinggi melalui agenda kerja harian.

” karena sejatinya merumuskan UU itu adalah kerja sehari-hari, bahkan sebelum UU tersebut diputuskan masuk dalam pembahasan tahap pertama di DPR. Karena begini,  bukankah produk UU itu berangkat dari kebutuhan publik sehari-hari,” tambahnya.

Oleh karenanya menurut Romi pada dasarnya DPR atau pemerintah mungkin saja dapat menyelesaikan sebuah UU dengan cepat ketika konsultasi publik harian itu telah dijalankan lebih dulu sebelum dibentuknya panitia khusus (Pansus).

Materi Revisi  UU PPP

Patut diketahui, kini badan legislasi DPR juga tengah melakukan revisi UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-Undangan (PPP) yang rencananya sesuai jadwal  akan diplenokan pada Senin ( 7/2 ) mendatang. 

Adapun revisi UU PPP merupakan salah satu tindak lanjut DPR atas putusan MK tentang UU Cipta Kerja. Saat itu Hakim MK, Suhartoyo mengungkapkan bahwa pembentuk UU tidak memberikan ruang partisipasi publik kepada masyarakat secara maksimal. Sekalipun  ada pertemuan dengan berbagai kelompok masyarakat pertemuan tersebut belum membahas naskah akademik dari materi perubahan UU Cipta Kerja.

Selain menambahkan metode omnibus pada materi revisi, belakangan DPR  menambahkan penguatan  partisipasi publik pada UU PPP ini. Di pasal 96 ayat 4 disebutkan bahwa untuk memberikan masukan setiap naskah akademik dan rancangan perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.

Penguatan partisipasi  publik itu menurut Ketua Baleg Supratman Andi Agtas diperlukan agar publik bisa mengontrol pembentuk UU. 

Patut diketahui dalam perkembangannya seluruh anggota fraksi di baleg sepakat dengan poin-poin yang direvisi.

Menanggapi revisi tersebut menurut Romi Libryanto ada yang jauh lebih penting dari revisi  yakni bagaimana DPR maupun pemerintah menjalankan setiap peraturan yang dibuat yakni melibatkan publik dalam setiap perumusan UU. 

” Sebenarnya menurut saya tanpa revisi pun itu tetap bisa. Karena hukumnya jelas bahwa membuat UU ya memang  harus melibatkan publik tidak bisa tidak, ” pungkasnya. 

Ona Mariani

Tambahkan Komentar

Follow Kami

Jangan biarkan infomasi penting dan mendalam dari kami terlewatkan! Ikuti sosmed kami: