Readtimes.id—Perekonomian dunia diprediksi akan menghadapi ancaman besar berikutnya setelah Covid-19, yakni perubahan iklim (Climate Change). Dan Indonesia diprediksi menjadi negara di Asia Tenggara yang terkena dampak luar biasa dari perubahan iklim tersebut.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) atau Bappenas memperkirakan kerugian ekonomi akibat dampak perubahan iklim bisa mencapai Rp 115 triliun pada 2024. kerugian itu berasal dari empat sektor yakni air, kesehatan, laut pesisir, dan pertanian.
Pengamat Ekonomi Lingkungan Universitas Sebelas Maret, Suryanto, mengatakan perubahan iklim dapat menyebabkan terjadinya penurunan produksi pertanian yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi, apalagi Indonesia merupakan negara agraris.
Salah satu indikator perubahan iklim yaitu suhu dan curah hujan. Perubahan suhu dan pola hujan yang tidak menentu dapat mengganggu proses pertumbuhan tanaman sehingga menyebabkan produksi menurun.
“Ketergantungan pada lahan pertanian sangat tinggi. Kegagalan panen probabilitasnya meningkat karena petani sulit menentukan waktu yang tepat untuk usaha tani. Kemudian, curah hujan yang ekstrem atau musim kemarau yang berkepanjangan,” ungkap Suryanto pada readtimes.id
Menurut Suryanto, upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi risiko climate change terhadap sektor ekonomi pertanian adalah dengan memberikan asuransi pertanian
“Memberikan penyuluhan sosialisasi climate change tentunya kepada masyarakat luas dan kepada petani bisa memberikan asuransi pertanian untuk membantu kegagalan panen,” jelasnya
Melalui asuransi tersebut, memberikan jaminan terhadap kerusakan tanaman akibat banjir, kekeringan, serta serangan hama dan penyakit tumbuhan atau organisme pengganggu tumbuhan (OPT), sehingga petani akan memperoleh ganti rugi sebagai modal kerja untuk keberlangsungan usaha taninya.
Di Indonesia, sektor pertanian (termasuk di dalamnya perkebunan, perikanan dan kehutanan) juga menjadi mata pencaharian utama masyarakatnya, dengan menyerap 38,78 juta jiwa atau 29,6% penduduk Indonesia yang bekerja.
Sektor pertanian juga merupakan penyumbang devisa utama negara, berupa ekspor komoditas minyak sawit, karet, kakao, dan rumput laut. Ekspor minyak dan lemak nabati (termasuk sawit) mencetak kontribusi ekspor terbesar setiap tahunnya berkisar 13%-15%, disusul bahan bakar mineral (batubara dkk) sebesar 10%-11% per tahun.
Selain sektor pertanian, sektor pertambangan batubara pun rentan terhadap risiko cuaca ekstrim. Aktivitas penambangan bisa terganggu ketika terjadi curah hujan ekstrim. Jika dampak perubahan iklim menghantam kedua sektor tersebut secara bersamaan, maka pemasukan devisa Indonesia juga akan terancam mengingat kombinasi sawit dan batubara menyumbang 20%-25% ekspor nasional.
Jika seperempat pemasukan devisa terganggu karena anjloknya panen dan produksi batu bara, pemerintah akan dihadapkan dengan permasalahan fiskal yang berujung pada kenaikan utang baru, dan membatasi kapasitas fiskal untuk membiayai program sosial-termasuk di dalamnya program pencegahan perubahan iklim.
Sayangnya, kedua sektor tersebut banyak dijalankan secara tidak bertanggung jawab, sehingga justru dinilai menjadi pemicu perubahan iklim. Pembukaan hutan gambut dan pembakaran lahan sawit memicu pelepasan gas rumah kaca ke atmosfer, demikian juga dengan penggunaan produk batu bara tak bersih (non-clean coal).
Perluasan lahan perkebunan kelapa sawit pada akhirnya akan mengkonversi kawasan hutan khususnya lahan gambut. Pembakaran lahan pada saat deforestasi juga akan menyebabkan peningkatan emisi karbon yang berakibat meningkatnya intensitas efek gas rumah kaca pada atmosfer. Hal ini membuat panas matahari terperangkap di bumi sehingga kondisi mengalami pemanasan secara global.
Rangkaian Kebijakan
Adapun untuk mengatasi sejumlah persoalan di atas pemerintah telah hadir dengan sejumlah kebijakan diantaranya
Permentan No.11 Tahun 2015 tentang penerapan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Penerapan ISPO dimaksudkan untuk menjamin keberlanjutan perkebunan kelapa sawit melalui penerapan 7 prinsip dan kriteria. Pengelolaan lahan gambut dalam ISPO didukung dengan peraturan Permentan No. 14 Tahun 2009 dan Inpres No. 10 Tahun 2011.
Untuk mengatasi dampak yang terjadi di sektor pertambangan mineral dan batubara, Pemerintah Indonesia juga telah mengeluarkan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang telah diubah dengan UU Cipta Kerja. Dalam UU ini para legislator memasukkan nilai dan syarat lingkungan sebagai suatu proses yang tidak boleh diabaikan bagi pelaku pertambangan
Selain itu Indonesia juga telah berkomitmen untuk mengadopsi konsep ekonomi sirkular ke dalam visi Indonesia 2045, dan telah diprioritaskan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Ekonomi sirkular juga membantu Indonesia dalam mencapai penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 126 juta ton CO2 pada tahun 2030. Selain itu, dengan Ekonomi sirkular kerugian sebesar Rp 551 Triliun akibat limbah makanan (food loss dan food waste) periode 2000-2019 dapat diturunkan.
Kebutuhan pendanaan untuk mengurangi perubahan iklim sangat besar. Estimasi kebutuhan pendanaan untuk mencapai target NDCs mengacu pada Second Biennial Update Reports (BUR 2) yakni sebesar US$247,2 miliar, atau setara Rp3.461 triliun hingga 2030.
Untuk itu, pemerintah mengalokasikan dana dari APBN untuk kebutuhan program antisipasi perubahan iklim sebesar Rp 86,7 triliun per tahun, atau sekitar 4,1 persen dari APBN.
Kendati demikian semua Kebijakan di atas dapat terwujud ketika ada komitmen dari pemerintah, swasta, masyarakat, juga dunia. Mengingat persoalan iklim adalah isu bersama.
2 Komentar