Readtimes.id- Selamat datang Piala Dunia. Pesta sepak bola terbesar itu akhirnya tiba di depan mata. Bertempat di Tanah Arab, 32 negara bakal bersaing demi mengejar prestasi jadi yang terbaik. Namun, di tengah hingar bingar Qatar dan turnamen empat tahunan itu, ada segunung kontroversi.
Isu pelanggaran hak asasi manusia dari para pekerja stadion, isu suap, hingga perubahan jadwal jadi setumpuk kontroversi yang membersamai penyelenggaraannya kali ini. Meski begitu, Qatar selaku tuan rumah tetap teguh, disertai dukungan FIFA, mereka tetap maju meski terus tuai kontroversi.
Kontroversi Qatar
Kursi tuan rumah Piala Dunia 2022 diperebutkan oleh lima negara. Bersaing dengan Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Amerika Serikat, Qatar akhirnya terpilih jadi pelaksana gelaran empat tahunan ini pada 2010. Meski dipilih lewat proses voting, Qatar terindikasi melakukan sejumlah aksi suap.
Kecurangan tersebut diakui oleh Issa Hayatou, Wakil Presiden FIFA asal Kamerun dan Jacques Anouma dari Pantai Gading. Mereka dibayar untuk memilih Qatar sebagai pelaksana perhelatan sepak bola terbesar ini. Tidak berhenti sampai di situ, menurut sejumlah investigasi, Qatar lewat Mohammed bin Hammen yang menjabat Presiden AFC telah membayar 30 pemimpin federasi sepak bola di Afrika untuk memilih negara di Semenanjung Arab tersebut. Hasilnya sesuai yang diharapkan, Qatar resmi ditetapkan jadi tuan rumah Piala Dunia 2022 pada 2 Desember 2010.
Resmi jadi tuan rumah, Qatar segera tancap gas dan melakukan pembangunan stadion-stadion untuk menunjang event akbar tersebut. Ada tujuh stadion baru dibangun, Rp3,1 triliun dana negara digelontorkan, dan 2,1 juta pekerja migran didatangkan untuk memenuhi target.
Sayangnya, tujuan besar Qatar tersebut harus dibarengi dengan jatuhnya korban jiwa. Menurut The Guardian, lebih dari 6500 nyawa pekerja melayang pada proses persiapan negara penghasil minyak ini menjadi tuan rumah Piala Dunia. Tidak hanya itu, paspor dan berkas milik para pekerja disita demi melanggengkan pengerjaan stadion yang mayoritas dimulai dari nol tersebut.
Banyak pihak meradang, tetapi Qatar tidak gentar. Proyek tetap berjalan demi ambisi besar mereka. Para pemain sepak bola selaku tokoh utama dalam pagelaran ini juga tidak bisa berbuat apa-apa. Label piala dunia, turnamen 4 tahunan, dan misi membawa nama negara membuat mereka tidak punya pilihan. Pada akhirnya, piala dunia tetap berjalan. Meski diprotes, meski ditolak, dan terus dipermasalahkan. Kini, ia sudah di depan mata.
Tujuan Qatar
Sejumlah kontroversi yang melingkupi Qatar pada Piala Dunia kali ini hampir sama halnya dengan apa yang terjadi di Brazil dan Afrika Selatan. Selaku negara berkembang yang belum punya fasilitas olahraga mumpuni, piala dunia dapat menjadi akselerator untuk mengadakan semua hal itu.
Apalagi, untuk negara yang tidak punya budaya sepak bola yang mengakar, kemampuan Qatar dalam melestarikan fasilitas yang ada menjadi tanda tanya. Meski begitu, posisi sebagai tuan rumah tetap dipandang menjadi sesuatu yang seksi bagi banyak negara berkembang.
Menjadi tuan rumah pagelaran sepak bola tertinggi di planet bumi bukan hanya perkara gengsi. Kewajiban untuk tunjukkan yang terbaik bisa menjadi alasan negara untuk menggelontorkan sejumlah besar dana demi membangun fasilitas-fasilitas yang menunjang pelaksanaan event ini.
Potensi pariwisata dan upaya memperkenalkan negara kepada masyarakat dunia juga jadi faktor yang memikat negara berkembang untuk mencoba jadi tuan rumah, termasuk Qatar. Apalagi, hal tersebut juga ditunjang oleh status mereka sebagai salah satu negara terkaya di dunia.
Menurut Global Finance Magazine, Qatar merupakan negara terkaya keempat di dunia dengan pendapat per kapita mencapai Rp753 juta per tahun. Jumlah tersebut tidak dapat dilepaskan dari posisi mereka sebagai salah satu pusat pengekspor minyak terbesar di dunia.
Namun, pihak pemerintah Qatar juga sadar, bahwa mereka tidak boleh terus menerus bergantung pada minyak bumi. Maka, sportainment menjadi salah satu opsi yang dapat mereka tempuh untuk investasikan semua uang mereka. Pemikiran tersebut tidak hanya dipikirkan oleh Qatar saja, tetapi negara tetangga mereka, Uni Emirat Arab dan Arab Saudi.
Dewasa ini, kita dapat melihat kedua negara tersebut jadi salah satu tempat penyelenggaraan event olahraga yang bergengsi. Dengan pelaksanaannya yang dibalut dengan kemewahan, pertunjukan olahraga di kawasan Timur Tengah memberikan daya tarik tersendiri yang tidak ditawarkan di tempat lain. Selain piala dunia di Qatar, publik Timur Tengah sejatinya juga bersiap untuk balapan pamungkas Formula 1 di sirkuit Yas Marina, Uni Emirat Arab. Hal yang sama juga berlaku untuk Arab Saudi dengan Sirkuit Jeddahnya.
Pada akhirnya, alasan Qatar begitu bersikeras dalam melaksanakan Piala Dunia di tengah kontroversi yang ada nyatanya bukan hanya persoalan gengsi atau perebutan gelar juara, melainkan ada misi besar yang diemban oleh negara dengan ibukota Doha itu.
Editor: Ramdha Mawaddha
Tambahkan Komentar